JAKARTA. Minyak mentah
west texas intermediate (WTI) kembali mencapai level tertingginya. Penurunan persedian minyak dan pemangkasan produksi mendorong harga minyak terus melaju. Mengutip
Bloomberg, Kamis (27/7) per pukul 18.50 WIB harga minyak kontrak pengiriman September 2017 naik 0,2% ke level US$ 48,85 per barel. Dalam sepekan, harga minyak melambung sebanyak 4,11%.
Research & Analyst Monex Investindo Futures Agus Chandra melihat, rilis laporan EIA menunjukkan adanya penurunan suplai minyak mentah mingguan 7,21 juta barel. Ini merupakan tingkat terendah persediaan sejak 6 Januari 2017.
Selain itu, Agus juga menilai, sentimen positif minyak datang dari langkah OPEC yang membatasi produksi minyak di Nigeria serta pembatasan ekspor minyak di Arab Saudi. "Sejauh ini masih positif," kata Agus pada KONTAN, hari ini. Sekedar tahu saja, sampai bulan Maret 2018, OPEC telah berkomitmen untuk menekan produksi sekitar 1,2 juta barel per hari. Lebih lanjut, faktor pelemahan nilai tukar dollar AS pasca rapat FOMC semalam juga dianggap Agus sebagai katalis positif. Menurutnya, minyak masih akan melaju naik hingga penutupan perdagangan hari ini. "Belum ada faktor yang bisa menekan harga minyak," tambah Agus. Sementara,
Research & Analyst Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar melihat minyak masih memiliki peluang menguat hingga level US$ 49,15 per barel. Menurutnya, jika minyak bisa menembus harga tersebut, maka tren minyak akan masuk dalam fase bullish. Waspada produksi minyak AS Kendati demikian, Deddy mengkhawatirkan pasokan dari beberapa negara OPEC seperti Nigeria, Irak, dan Libia yang hingga saat ini masih diberi kebebasan produksi dapat menjadi katalis negatif bagi harga minyak. "Untuk jangka panjang saya lihat, minyak ada potensi menurun jika ketiga negara itu masih bebas produksi," katanya. Deddy juga menilai, sampai kuartal III-2107 kenaikan minyak ini hanya euforia sesaat. Apalagi, tahun ini diperkirakan produksi minyak AS bisa di level 9,4 juta barel per hari. "Ini menjadi fokus pasar. Sampai akhir semester dua nanti AS akan mengekang produksi atau malah terus memacu," tambah Deddy lagi. Selain itu, Agus juga mengingatkan, kemungkinan akan muncul sentimen negatif dari data jumlah rig minyak di AS yang akan dirilis oleh Baker Hughes jelang penutupan perdagangan. "Jika dilaporkan naik, ada kemungkinan tingkat produksi minyak AS akan meningkat, ini dapat menurunkan harga minyak," papar Agus. Pun, menurut Agus, sejauh ini pasar masih fokus pada suplai yang berlimpah. Padahal OPEC sudah mengambil langkah untuk membatasi produksi. "Pasar masih menanti juga apakah kesepakatan OPEC dapat benar-benar efektif menurunkan kelebihkan suplai minyak global," tandasnya.
Secara teknikal, Deddy melihat harga minyak masih bergulir di atas
moving average (MA) 50 dan MA100, tapi belum bisa menembus MA200, artinya penguatan jangka panjang masih belum terkonfirmasi. Indikator
stochastic berada di area 92 yang berarti
overbought dan berpotensi harga minyak bisa terkoreksi. Indikator
relative strength index berada di level 60 dan
moving average convergence divergence (MACD) memberi sinyal positif. Untuk itu, Deddy menilai harga minyak masih konsolidasi. Dia memperkirakan, pergerakan harga minyak pada Jumat (28/7) akan berada di kisaran US$ 47,75 - US$ 49,15 per barel. Sedang untuk pekan depan minyak berada di range yang lebar yakni US$ 42,62 - US$ 50,78 per barel. Prediksi Agus, besok hingga pekan depan minyak masih berpotensi naik hingga level US$ 47,30 - US$ 50,00 per barel. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati