KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) mengungkapkan stok obat chloroquine dan hydroxychloroquine untuk pengobatan corona hanya sekitar 5 juta tablet yang diproyeksikan hanya cukup hingga Juni 2020 mendatang. Persoalan ketersediaan bahan baku dan ketahanan finansial perusahaan farmasi jadi sorotan. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) Dorojatun Sanusi menjelaskan pengobatan corona menggunakan obat chloroquine dan hydroxychloroquine yang diproduksi oleh PT Kimia Farma Tbk (KAEF) dan PT Dexa Medica. "Kedua perusahaan ini sampai sekarang mengutamakan pengiriman ke rumah sakit baik rujukan besar maupun rumah sakit di daerah yang memerlukan," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (30/4).
Baca Juga: Evaluasi wabah corona, Jokowi minta sektor kesehatan digenjot di 2021 Dorojatun menyatakan ada dua cara obat itu didistribusikan, bisa melalui BNPB atau juga bisa didistribusikan langsung karena kondisi sangat mendesak. Sejauh ini ketersediaan obat chloroquine dan hydroxychloroquine sekitar 5 juta tablet dari KAEF dan Dexa Medica. Meski demikian, 5 juta tablet itu diproyeksikan Dorojatun hanya cukup sampai Juni 2020. "Tapi tergantung juga dengan pemakaian obat ini di rumah sakit karena sampai saat ini tidak ada data yang jelas bagaimana dan berapa yang digunakan," ujarnya. Adapun setelah Juni, Dorojatun belum bisa banyak komentar karena semua tergantung keadaan juga. Padahal kapasitas produksi obat chloroquine dan hydroxychloroquine masih bisa bertambah hingga berkali-kali lipat. Hanya saja, kata Dorojatun, keterbatasan bahan baku jadi masalah. Dorojatun mengungkapkan Indonesia sangat ketergantungan dengan bahan baku obat dari India. Sebenarnya ada negara lain yang produksi, yaitu China. Namun saat ini China sedang fokus untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya serta kontrak yang sudah berjalan. "Jadi sangat tergantung dengan India. Di sisi lain, kita juga berebutan sama negara lain yang butuh bahan baku Corona seperti Amerika," kata Dorojatun. Meski harus menanggung biaya produksi mahal, Dorojatun bilang, sejauh ini obat chloroquine dan hydroxychloroquine yang dikirimkan ke rumah sakit diberikan sukarela, alias gratis. Selain dasar pengobatan corona dari chloroquine dan hydroxychloroquine, Dorojatun menjelaskan ada juga obat penunjang dari kelompok antibiotik seperti Oseltamivir, Avigan, dan beberapa produk obat lainnya. "Kelompok antibiotik ini diproduksi perusahaan seperti Darya Varia Laboratories, Sanbe, Indofarma, dan beberapa perusahaan farmasi lainnya. Jadi yang berperan di sini industri farmasi nasional anggot Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI)," jelas Dorojatun.
Mengingat pengusaha farmasi nasional punya keterbatasan ketahanan finansial, Dorojatun mengungkapkan jikalau pemerintah bisa memberikan 2% saja dari APBN kesehatan Rp 7,5 triliun akan sangat membantu menguatkan supply chain dan pengadaan obat untuk corona. "Jangan sampai dibiarkan begini, kalau perusahaan farmasi kesulitan bisa saja obat Corona dan JKN juga kosong," kata Dorojatun.
Baca Juga: Kemenperin tegaskan aktivitas industri dan protokol kesehatan harus sejalan Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat