Strategi APHI Menghadapi Penundaan Kebijakan EUDR



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) memandang penundaan European Union Deforestation Regulation (EUDR) hingga tahun 2026 sebagai peluang penting untuk mempersiapkan anggotanya dalam menghadapi regulasi yang menuntut produk kayu bebas dari deforestasi. 

Indroyono Soesilo, Ketua Umum APHI, menyatakan bahwa meskipun penundaan ini memberi waktu bagi industri untuk beradaptasi, persiapan dan langkah-langkah strategis tetap menjadi prioritas.

APHI menekankan bahwa Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang telah diterapkan di Indonesia menjadi modal kuat dalam menghadapi EUDR. SVLK membangun sistem keterlacakan yang memastikan bahan baku untuk industri hutan berasal dari sumber yang legal dan lestari. 


Dengan sistem ini, kata dia, produk kayu Indonesia diharapkan lebih siap dalam memenuhi persyaratan ketat yang ditetapkan Uni Eropa, yang mengedepankan aspek legalitas dan keberlanjutan.

"Melalui SVLK, produk kayu Indonesia memiliki sistem ketelusuran yang kuat, yang menjadi bekal penting untuk menghadapi EUDR," kata Indroyono saat dihubungi KONTAN, Senin (7/10).

Baca Juga: Respons Serikat Petani Sawit Terkait Penundaan Kebijakan EUDR

Indroyono juga menekankan pentingnya peran pemerintah Indonesia dalam mendukung sektor kehutanan untuk mematuhi EUDR. Pemerintah, melalui diplomasi aktif dengan Uni Eropa, termasuk Joint Task Force (JTF), telah menyampaikan berbagai kekhawatiran dari pihak pemerintah dan pelaku usaha. 

APHI juga meminta agar pemerintah memperjuangkan SVLK sebagai instrumen utama dalam menghadapi EUDR dan memperkuat posisinya di pasar Uni Eropa. "Pemerintah perlu terus memperjuangkan SVLK sebagai alat yang diakui oleh Uni Eropa dalam konteks EUDR,"tambahnya.

Selama masa penundaan hingga 2026, APHI mengarahkan anggotanya untuk memperkuat sistem ketelusuran bahan baku di masing-masing perusahaan. Langkah ini melibatkan peningkatan sistem lacak balak di dalam kerangka SVLK, yang bertujuan untuk memastikan transparansi dan legalitas di seluruh rantai pasokan.

Selain itu, APHI juga mendorong perusahaan untuk berkonsultasi intensif dengan pemerintah dalam rangka memenuhi semua persyaratan EUDR. Konsultasi ini penting agar industri kehutanan Indonesia dapat merumuskan standar operasional yang sesuai dengan aturan yang akan diberlakukan pada tahun 2026.

"Anggota kami saat ini sedang berkonsultasi secara intensif dengan pemerintah untuk memastikan mereka memenuhi persyaratan EUDR,"jelas Indroyono.

Meskipun upaya persiapan terus berjalan, APHI mengakui bahwa tantangan terbesar adalah memastikan rantai pasokan benar-benar bebas dari deforestasi. Tantangan lainnya termasuk penyamaan persepsi antara Indonesia dan Uni Eropa mengenai definisi dan peta deforestasi, serta menghindari beban biaya tambahan akibat proses "due diligence" yang diwajibkan oleh EUDR.

Baca Juga: SPKS Minta Pemerintah Tak Hambat Industri Sawit Masuk Pasar Eropa

APHI juga meminta agar diplomasi perdagangan antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa mampu menghasilkan kesepakatan yang adil, terutama terkait efisiensi proses "due diligence" agar tidak memberatkan para pelaku usaha.

Untuk meningkatkan kesiapan anggota dalam memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan oleh EUDR, APHI proaktif dalam mendorong sertifikasi keberlanjutan melalui pelatihan dan penguatan praktik terbaik di tingkat tapak. Asosiasi ini menekankan pentingnya kapasitas sumber daya manusia dan implementasi praktik kelestarian yang terukur di lapangan sebagai kunci untuk mencapai standar yang diakui oleh Uni Eropa.

"Kami memperkuat kapasitas anggota melalui pelatihan dan penguatan praktik terbaik, agar siap memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan EUDR," tegas Indroyono.

APHI mendesak pemerintah untuk terus melakukan negosiasi intensif dengan Uni Eropa agar peta deforestasi yang dijadikan acuan sesuai dengan kondisi di lapangan. Selain itu, asosiasi ini meminta pemerintah untuk memperjuangkan agar proses "due diligence" yang diharuskan oleh EUDR tidak menambah beban biaya operasional yang signifikan bagi pelaku usaha kehutanan Indonesia.

"Pemerintah harus memastikan bahwa peraturan ini tidak memberatkan pelaku usaha, terutama dalam hal biaya tambahan yang mungkin timbul dari proses due diligence," pungkasnya.

Baca Juga: Pengusaha Sambut Baik Usulan Penundaan Implementasi Kebijakan EUDR

Selanjutnya: Indosat (ISAT) Siap Stock Split dengan Rasio 1:4, Berikut Jadwalnya

Menarik Dibaca: 6 Tips Makeup untuk Dahi Lebar, Tak Perlu Pakai Poni Lagi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati