KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) menyikapi penundaan penerapan
European Union Deforestation Regulation (EUDR) hingga Desember 2025 dengan langkah proaktif. Ketua Umum APKI, Liana Bratasida, menyatakan bahwa penundaan ini memberi ruang bagi industri kertas untuk memperkuat praktik keberlanjutan dan memastikan rantai pasokan bebas dari deforestasi. Industri kertas di Indonesia telah lama beroperasi dengan Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang memastikan bahan baku berasal dari sumber yang legal dan berkelanjutan.
APKI melihat SVLK sebagai landasan yang kuat dalam memenuhi persyaratan EUDR, namun diakui perlu ada perbaikan dalam sistem keterlacakan
(traceability) agar sesuai dengan tuntutan Uni Eropa. "Kami berharap pemerintah memperjuangkan pengakuan SVLK sebagai mekanisme yang dapat diakui di bawah EUDR," ujar Liana saat dihubungi KONTAN, Senin (7/10). APKI mengakui bahwa industri kertas Indonesia terus berupaya memastikan pasokan bahan baku bebas dari deforestasi. Tantangan terbesar, menurut Liana, adalah memastikan bahan baku impor, seperti pulp dan serat panjang, memenuhi standar keterlacakan.
Baca Juga: Respons Serikat Petani Sawit Terkait Penundaan Kebijakan EUDR Menurutnya, besar pemasok belum siap menyediakan data geolokasi yang diperlukan oleh EUDR. "Kami terus mendorong perusahaan untuk memperbaiki sistem audit dan penilaian risiko pada rantai pasokan, serta memperkuat kerja sama dengan pemasok lokal," tambah Liana. Biaya tambahan yang diperlukan untuk memenuhi standar keberlanjutan menjadi tantangan besar bagi industri, terutama bagi perusahaan kecil dan menengah. Selain itu, hambatan teknis terkait pengumpulan data keterlacakan dan kompleksitas rantai pasokan memerlukan investasi pada teknologi yang lebih canggih. "Koordinasi dengan pemasok dan memastikan mereka mematuhi persyaratan keberlanjutan adalah pekerjaan besar yang membutuhkan infrastruktur yang kuat," jelas Liana. APKI mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah proaktif dalam mendukung industri kertas menghadapi EUDR, baik melalui akses pendanaan untuk teknologi keterlacakan, sertifikasi keberlanjutan, maupun pengembangan infrastruktur. Selain itu, Liana menekankan pentingnya pelatihan dan pendampingan teknis bagi perusahaan kecil dan menengah agar mereka mampu memahami dan memenuhi persyaratan EUDR. Pemerintah juga diharapkan dapat memperjuangkan harmonisasi regulasi antara EUDR dan SVLK agar tidak menimbulkan beban ganda bagi industri. "Pengakuan SVLK sebagai sistem yang sesuai dengan EUDR adalah kunci untuk menghindari tumpang tindih regulasi yang memberatkan," ujar Liana.
APKI mendukung upaya pemerintah dalam melakukan diplomasi dan lobi dengan Uni Eropa terkait penerapan EUDR. Kata dia, kolaborasi teknologi untuk memperkuat keterlacakan bahan baku, seperti pengembangan Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) dan SIPASHUT, diharapkan mampu meminimalkan hambatan teknis dalam memenuhi persyaratan EUDR. "Kami berharap pemerintah dapat menegaskan bahwa Indonesia sudah memiliki sistem legalitas kayu yang kredibel, dan negosiasi harus mencakup penggunaan peta deforestasi yang sesuai dengan kondisi di Indonesia," pungkasnya.
Baca Juga: Pemerintah Tetap Minta Revisi EUDR ke Uni Eropa Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati