Strategi efisiensi emiten nikel



JAKARTA. Emiten pertambangan sub sektor logam masih berhati-hati dalam ekspansi dan melanjutkan strategi efisiensi pada tahun ini. Terutama produsen nikel yang masih didera ketidakpastian harga komoditas.

PT Vale Indonesia Tbk (INCO) memprediksi, tahun ini masih akan menjadi tahun yang berat untuk produsen nikel. Perekonomian China diprediksi masih suram tahun ini.

Nico Kanter, CEO dan Presiden Direktur INCO, dalam laporan tahunan mengungkapkan, perlambatan China bakal berdampak signifikan pada permintaan nikel.


Pasalnya, tingkat konsumsi China hampir setengah produksi nikel global. Oleh karena itu, INCO memperkirakan, rata-rata tahunan harga nikel di tahun 2016 akan lebih rendah daripada rata-rata tahunan harga nikel tahun lalu.

"Strategi kami tetap berusaha meningkatkan efisiensi produksi," ungkap Nico.

INCO juga menjadi berhati-hati menggunakan dana kas. Perseroan hanya menargetkan belanja modal tahun ini US$ 90 juta hingga US$ 100 juta.

Nilai belanja modal ini lebih rendah dari realisasi belanja modal tahun lalu, yang sebesar US$ 106,4 juta. Belanja itu juga hanya fokus untuk produksi.

Dari sisi produksi, Vale juga tak muluk-muluk. INCO hanya menargetkan produksi di kisaran 80.000 ton nikel dalam matte, turun dari realisasi produksi tahun lalu yang sebesar 81.177 ton.

Emiten logam dan mineral lainnya, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) juga masih menerapkan strategi efisiensi, setelah merugi tahun lalu. Pada 2015, efisiensi ANTM mencapai Rp 53,2 miliar atau 136% lebih tinggi dari target Antam.

Segmen operasi nikel, melalui penjualan ekspor feronikel ANTM mengkontribusi 26% dari total penjualan bersih ANTM tahun lalu.

Tri Hartono, Sekretaris Perusahaan ANTM, mengatakan, tahun ini pihaknya menargetkan produksi dan penjualan 20.000 TNi feronikel, meningkat dari tahun lalu yang sekitar 17.000 TNi.

Target produksi bijih nikel hanya 1,3 juta wet metric ton (WMT) atau turun dari tahun lalu 1,7 juta WMT. ANTM berharap banyak dari komoditas emas yang target produksinya d naik 9% menjadi 2.450 kilogram (kg), terdiri dari produksi Pongkor 1.431 kg dan Cibaliung 1.019 kg.

Sementara volume penjualan emas ditargetkan 10.431 kg, dengan dukungan 12 butik emas ANTM. "Kami berharap, harga komoditas bisa lebih baik dibandingkan tahun lalu. Kami juga masih terus melakukan efisiensi beban," ujar Tri.

Tahun ini, ANTM hanya menyiapkan belanja modal sekitar Rp 1,6 triliun. Nilai itu menurun 20,79% dibandingkan realisasi belanja tahun lalu Rp 2,02 triliun. "Ini karena beberapa proyek besar hampir selesai," imbuhnya.

Belanja modal itu dialokasikan untuk empat proyek. Sebesar Rp 447 miliar akan digunakan untuk proyek perluasan pabrik feronikel Pomalaa dan sekitar Rp 406 miliar untuk proyek pembangunan pabrik feronikel Halmahera Timur. Sebesar Rp 150 miliar untuk pekerjaan konversi BBM ke gas.

Proyek smelter grade alumina mendapat alokasi Rp 33 miliar karena baru groundbreaking akhir tahun 2016. Sisa belanja modal untuk modal kerja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie