JAKARTA. Genderang ketegangan perang mata uang masih belum mereda hingga kini. Indonesia, seperti halnya negara-negara emerging market lainnya, mau tidak mau terjebak di tengah, bak pelanduk di antara dua gajah yang tengah bertarung. Di tengah situasi ini, kebijakan moneter Indonesia akan difokuskan pada penjagaan stabilitas nilai tukar dan penjagaan tingkat daya saing ekspor untuk mendukung pemanfaatan momentum pertumbuhan ekonomi.Hal ini ditegaskan oleh Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution di Jakarta, Senin malam (25/1). Darmin menjelaskan, di tengah situasi seperti itu, yang terpenting dan menjadi fokus otoritas moneter adalah menjaga nilai tukar rupiah agar terus berada dalam batas-batas fundamental."Jadi jika ada orang yang mengatakan currency war, kita tidak merasa terpengaruh.Yang kami lakukan selama ini adalah menjaga agar nilai tukar kita masih sejalan dengan fundamental ekonomi, dan masih kondusif terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi," ujarnya.Penjagaan rupiah agar daya saing ekspor Indonesia tidak jatuh terindikasi dari nilai apresiasi alias penguatan rupiah yang masih di bawah laju apresiasi mata uang negara emerging market lainnya. Penguatan rupiah dari awal tahun atau year to date sekitar 5%, sedangkan laju apresiasi nilai tukar negara lain ada yang mencapai 11% sampai dengan 12%. "Artinya, jika berbicara daya saing, kita tidak kehilangan. Memang untuk itu ada anggapan bahwa Indonesia melakukan intervensi (penguatan) besar-besaran. (Tapi) bagi kami, momentum agar kegiatan ekonomi tidak terganggu menjadi penting. Kita harus menjaga itu," kata Darmin.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Strategi Indonesia di tengah perang mata uang asing
JAKARTA. Genderang ketegangan perang mata uang masih belum mereda hingga kini. Indonesia, seperti halnya negara-negara emerging market lainnya, mau tidak mau terjebak di tengah, bak pelanduk di antara dua gajah yang tengah bertarung. Di tengah situasi ini, kebijakan moneter Indonesia akan difokuskan pada penjagaan stabilitas nilai tukar dan penjagaan tingkat daya saing ekspor untuk mendukung pemanfaatan momentum pertumbuhan ekonomi.Hal ini ditegaskan oleh Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution di Jakarta, Senin malam (25/1). Darmin menjelaskan, di tengah situasi seperti itu, yang terpenting dan menjadi fokus otoritas moneter adalah menjaga nilai tukar rupiah agar terus berada dalam batas-batas fundamental."Jadi jika ada orang yang mengatakan currency war, kita tidak merasa terpengaruh.Yang kami lakukan selama ini adalah menjaga agar nilai tukar kita masih sejalan dengan fundamental ekonomi, dan masih kondusif terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi," ujarnya.Penjagaan rupiah agar daya saing ekspor Indonesia tidak jatuh terindikasi dari nilai apresiasi alias penguatan rupiah yang masih di bawah laju apresiasi mata uang negara emerging market lainnya. Penguatan rupiah dari awal tahun atau year to date sekitar 5%, sedangkan laju apresiasi nilai tukar negara lain ada yang mencapai 11% sampai dengan 12%. "Artinya, jika berbicara daya saing, kita tidak kehilangan. Memang untuk itu ada anggapan bahwa Indonesia melakukan intervensi (penguatan) besar-besaran. (Tapi) bagi kami, momentum agar kegiatan ekonomi tidak terganggu menjadi penting. Kita harus menjaga itu," kata Darmin.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News