KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jebol ke level 6.850,09 usai melemah tipis 0,08% pada perdagangan Rabu (12/6). IHSG ambles sejalan dengan anjloknya LQ45 dan IDX30 yang banyak diisi oleh saham berkategori blue chip. Indeks saham LQ45 merosot 0,57%, sementara IDX30 turun 0,64%. Jika diakumulasi secara year to date, masing-masing sudah terjun sedalam 11,10% dan 13,76%. Jauh lebih dalam ketimbang IHSG, yang mengakumulasi pelemahan 5,81% sejak awal tahun 2024. Pengamat Pasar Modal & Founder WH-Project William Hartanto mengamati katalis utama yang membuat saham-saham blue chip melorot adalah tekanan jual dari investor asing. Pasalnya, saham blue chip relatif lebih sensitif terhadap arus capital outflow berkaitan dengan minat jual investor asing.
Secara year to date, posisi net sell investor asing sudah menembus Rp 10,81 triliun. "Kinerja emiten blue chip sebenarnya tidak buruk, jadi bisa dibilang ini masalah minat pelaku pasar, kebetulan dilakukan oleh investor asing," ungkap William kepada Kontan.co.id, Rabu (12/6).
Baca Juga: IHSG Berpotensi Menguat pada Kamis (13/6), Risahlah FOMC dan Inflasi AS Jadi Penentu Certified Elliott Wave Analyst Master Kanaka Hita Solvera Daniel Agustinus punya pandangan serupa, dimana pelemahan saham big caps identik dengan derasnya capital outflow. Ada sejumlah sentimen yang menyeret arus dana keluar dari investor asing. Mulai dari pelemahan nilai tukar rupiah hingga kebijakan bank sentral yang masih mempertahankan tingkat suku bunga di level tinggi. Lalu sentimen terbaru adalah penurunan peringkat pasar atau outlook equity Indonesia menjadi underweight dari Morgan Stanley. Senior Equity Research Analyst Erdikha Elit Sekuritas, Hendri Widiantoro melihat pada semester I-2024 investor cenderung berhati-hati melakukan investasi. Sentimen ketegangan geopolitik, tingkat inflasi, kebijakan moneter yang ketat, telah mempengaruhi penilaian investor terhadap risiko ketidakpastian di pasar keuangan. Apalagi kinerja kuartal I-2024 sejumlah emiten dengan saham blue chip relatif di bawah ekspektasi investor, seperti di sektor perbankan dan komoditas. "Investor cenderung menghindari aset berisiko, termasuk saham-saham blue chip di pasar negara berkembang seperti Indonesia," ungkap Hendri. Head of Equities Investment Berdikari Manajemen Investasi Agung Ramadoni mengamini, saham-saham big caps yang melemah menjelang akhir semester pertama diakibatkan oleh tingginya risiko ketidakpastian. "Jika ketidakpastian masih ada dan dollar index lanjut menguat, maka tren pelemahan ini masih akan berlanjut," imbuh Agung.
Prospek Blue Chip di Awal Semester II
Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi memprediksi tren pelemahan ini masih akan berlangsung hingga akhir semester pertama, atau ketika bank sentral sudah berada di posisi
dovish. Penguatan berpotensi terjadi mulai bulan Juli dimana secara historis 10 tahun terakhir peluang IHSG mencetak performa positif mencapai 90%. Menurut Audi, antisipasi pelaku pasar terhadap musim rilis kinerja kuartal kedua serta rebalancing indeks mayor bisa menjadi katalis pendorong saham-saham blue chip dan IHSG. Sementara William melihat adanya potensi rebound di akhir Juni mempertimbangkan kemungkinan jenuh jual. Hendri menimpali, jika kondisi makro ekonomi menunjukkan tanda perbaikan, maka pasar saham berpotensi menguat kembali di semester kedua. Head of Research Mega Capital Sekuritas (InvestasiKu) Cheril Tanuwijaya menambahkan, faktor lainnya adalah dinamika politik dalam masa transisi pemerintahan baru dan dampaknya terhadap ekonomi.
Baca Juga: IHSG Melemah 0,08% ke 6.830 Pada Rabu (12/6), SMGR, INKP, PGEO Jadi Top Losers LQ45 Selain itu, sentimen signifikan yang memengaruhi pasar saham adalah arah suku bunga acuan The Fed. "Kami perkirakan jika FOMC Juni ini komentar The Fed bisa lebih dovish, maka IHSG bisa rebound di area 6.800 - 6.850 untuk menuju ke atas 7.000 lagi," terang Cheril. Dalam situasi saat ini, Cheril melihat peluang
buy on weakness terhadap saham
big bank yakni PT Bank Central Asia Tbk (
BBCA), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (
BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (
BBRI) dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (
BBNI). "Karena secara historis bahkan saat pandemi, saham big bank selalu rebound lagi setelah koreksi," imbuh Cheril. Hendri punya rekomendasi serupa untuk barisan saham blue chip perbankan. Daya tariknya akan bertambah ketika kinerja keuangan membaik dan ada dorongan dari aksi beli investor asing. "Koreksi yang signifikan secara year to date memberi ruang yang cukup lebar bagi saham perbankan terjadi rebound," ujar Hendri. Daniel menambahkan, bagi investor jangka panjang bisa mulai cicil beli saham blue chip pilihan menggunakan metode dollar cost averaging. Sementara untuk jangka pendek, lebih baik menunggu sinyal reversal terbentuk, atau bisa cermati saham barang konsumsi seperti PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dan PT Mitra Adiperkasa Tbk (
MAPI).
William merekomendasikan trading buy untuk UNVR mempertimbangkan kenaikan frekuensi perdagangan. Selain itu, wait and see terlebih dulu terhadap saham-saham blue chip yang mayoritas sedang terkena tekanan jual. Agung melirik saham PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (
TLKM), PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (
AMRT), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (
ICBP) dan PT Kalbe Farma Tbk (
KLBF). Sedangkan Audi memandang pelaku pasar masih bisa melakukan akumulasi beli pada saham big caps dari sektor perbankan, ritel, telekomunikasi dan kesehatan. Audi menyematkan rekomendasi buy untuk
BMRI,
BBCA, PT Ace Hardware Indonesia Tbk (
ACES) dan PT XL Axiata Tbk (
EXCL) dengan target harga masing-masing di Rp 7.350, Rp 10.300, Rp 970 dan Rp 2.582. Kemudian
hold PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (
SIDO) untuk target harga Rp 836 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi