Strategi Kemenkeu: Perkuat SPN Jangka Pendek untuk APBN 2026



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, akan meningkatkan penerbitan surat utang dengan tenor jangka pendek atau surat perbendaharaan negara (SPN) sebagai strategi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, strategi memperbesar penerbitan SBN bertenor pendek di bawah satu tahun pada 2026 merupakan keputusan logis, terutama untuk membuat pembiayaan lebih luwes saat suku bunga global masih naik turun.

Sebagaimana diketahui, DJPPR Kementerian Keuangan sendiri sudah mulai memperkuat instrumen ini sejak kuartal IV 2025 dan menyebut akan meningkatkan penerbitan SPN dan SPN Syariah pada 2026 dengan pilihan jangka waktu yang lengkap. Mulai dari tenor 1, 3, 6, 9, hingga 12 bulan.


“Ini supaya pemerintah lebih fleksibel memenuhi kebutuhan pembiayaan sekaligus membuat pengelolaan kas lebih efisien dan memberi instrumen yang lebih lengkap bagi pelaku pasar,” tutur Josua kepada Kontan, Senin (23/12/2025).

Baca Juga: BI Sudah Borong SBN Rp 327,45 Triliun per 16 Desember 2025

Meski demikian, Josua menilai, sisi yang harus diimbangi adalah makin besar porsi utang jangka pendek, makin sering pemerintah harus memperpanjang jatuh tempo, sehingga risiko pembiayaan ulang meningkat ketika kondisi pasar memburuk.

Karena itu, menurutnya porsi SPN dan SPNS sebaiknya dinaikkan bertahap tetapi tetap dijaga agar profil jatuh tempo utang tidak terlalu menumpuk di depan.

Ia menyampaikan bahwa sebagai patokan kehati-hatian, porsi instrumen berjangka di bawah satu tahun yang relatif aman umumnya berada pada kisaran seperempat hingga sepertiga dari total penerbitan surat berharga domestik. Menurutnya, kisaran tersebut juga kerap digunakan sebagai acuan dalam materi pengelolaan surat berharga pemerintah.

“Untuk porsinya di 2026, saya menilai wajar bila SPN dan SPNS digerakkan di kisaran 20%–30% dari total penerbitan SBN bruto, dengan 25%–30% sebagai batas atas yang perlu ditopang oleh kesiapan kas dan permintaan pasar yang kuat,” ungkapnya.

Sementara itu, untuk SPNS, Josua menyebut, agar basis pemodal syariah tetap terlayani tanpa memaksa harga, porsi SPNS di dalam total SPN dan SPNS dapat dijaga kira-kira seperempat sampai sepertiga, sejalan dengan besaran porsi penerbitan SBSN yang memang material dalam keseluruhan penerbitan pemerintah.

Lebih lanjut, ia menilai, terdapat beberapa faktor yang perlu diwaspadai pemerintah terkait penerbitan utang jangka pendek ini.

Baca Juga: Penjualan SBN Ritel Terakhir di Tahun 2025 Capai Rp 15 Triliun

Pertama, disiplin pengelolaan kas: penerbitan jangka pendek menuntut peramalan arus kas yang lebih presisi, penyangga kas yang cukup, dan kesiapan skenario darurat saat penerimaan terlambat atau belanja melonjak.

Kedua, risiko harga saat pembiayaan ulang: bila sentimen memburuk, biaya utang bisa cepat naik karena seri-seri pendek harus diterbitkan ulang lebih sering; mitigasinya adalah tetap menjaga campuran jatuh tempo, melakukan pengelolaan kas dan utang yang aktif, memanfaatkan ruang seperti saldo anggaran lebih untuk mengurangi tekanan penerbitan, serta melakukan penataan jatuh tempo melalui penukaran seri bila diperlukan.

Ketiga, koordinasi dengan otoritas moneter dan pengaturan kalender lelang: jangan sampai jadwal dan volume SPN bertabrakan dengan instrumen moneter yang menyerap dana perbankan sehingga permintaan lelang melemah, pengaturan tangga jatuh tempo 1–12 bulan yang tersebar juga penting agar tidak terjadi penumpukan jatuh tempo pada minggu atau bulan tertentu.

Baca Juga: Utang Luar Negeri Pemerintah Turun, Imbas Melambatnya Aliran Modal ke SBN

Selanjutnya: Saham Mora Telematika (MORA) Dalam Tren Melemah, Begini Rekomendasinya

Menarik Dibaca: 12 Menu Ayam untuk Diet agar Berat Badan Turun, Mau Coba?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News