Strategi KUR 2018: Sosial versus komersial



Belum lama ini Harian KONTAN memberitakan bahwa Komite Kebijakan Kredit Usaha Rakyat akan melakukan perubahan suku bunga kredit usaha rakyat (KUR) tahun 2018. Bunga turun dari semula 9% menjadi 7% efektif per tahun. Penurunan bunga KUR ini akan mulai berlaku 1 Januari 2018.  

Selain itu, rapat Komite Kebijakan KUR memutuskan untuk meningkatkan target penyaluran KUR di sektor produksi. Misalnya  sektor pertanian, perikanan, industri pengolahan, konstruksi dan jasa produksi tahun 2018 menjadi  minimum sebesar 50% dari total target penyaluran tahun ini yang sebesar Rp 120 triliun.

UMKM selama ini sulit mendapatkan kredit dari lembaga keuangan. Salah satu pertimbangan lembaga keuangan, sektor produksi memiliki risiko yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sektor perdagangan.


Tahun 2018 juga lahir skema KUR Khusus untuk perkebunan rakyat, peternakan rakyat dan perikanan rakyat. KUR Khusus  adalah skema yang diberikan kepada kelompok usaha yang dikelola secara bersama dalam bentuk kluster dengan menggunakan mitra usaha. Sektor usahanya meliputi usaha komoditas perkebunan rakyat, peternakan rakyat dan perikanan rakyat.

Plafon KUR Khusus ditetapkan Rp 25 juta–Rp 500 juta untuk tiap individu anggota kelompok. Komite kebijakan akan menetapkan besaran plafon KUR tahun 2018 bagi setiap penyalur KUR dengan mempertimbangkan rekomendasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sampai dengan 30 September 2017, penyaluran KUR telah mencapai Rp 69,7 triliun atau 65,3% dari plafon penyaluran Rp 106,6 triliun. Tingkat kredit macet atau non-performing loan (NPL) sebesar 0,014 %. Total jumlah debitur KUR mencapai sekitar 3,09 juta. Nilai KUR Mikro yang tersalur mencapai Rp 49 triliun atau 71% dari total penyaluran.

Dari beberapa perubahan skema KUR di atas menarik untuk menganalisis beberapa hal yang akan menjadi dampak utama dari perubahan kebijakan tersebut. Terutama, penurunan bunga KUR bagi bank penyalurnya.

Usaha Mikro Kecil (UMK) merupakan tulang punggung utama dalam perekonomian Indonesia. Statistik terbaru Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan beberapa fakta menarik tentang kontribusi UMK. Menurut data itu, saat ini terdapat dari 57,9 juta usaha di Indonesia. Dari jumlah itu, fakta pertama menunjukkan bahwa usaha mikro kecil berjumlah 57,8 juta (99,9%) dan merupakan jumlah unit usaha  terbesar dari total usaha di Indonesia.

Fakta kedua adalah dalam serapan tenaga kerja. Usaha mikro kecil masih dominan menyerap  tenaga kerja. Lebih dari 114 juta atau setara 97% dari seluruh usaha yang ada di Indonesia.

Melihat kontribusi UMK yang signifikan, era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merilis skema KUR untuk menjadi obat dari dua penyakit utama UMK. Yakni, keterbatasan akses kredit dari perbankan, dan keterbatasan kemampuan UMK dalam menyediakan agunan.

Untuk itulah banyak yang bank tertarik memasuki UMK ini menjadi bank penyalur KUR dengan beberapa pertimbangan. Pertama,  profitabilitas. Dibandingkan dengan usaha besar UMK memiliki beberapa ciri perputaran yang lebih tinggi, tingkat efisiensi lebih tinggi sehingga mampu menghasilkan profitabilitas lebih besar.

Kedua, potensi pasar UMK. Data telah menunjukkan besarnya potensi pasar UMK yang harus digarap lebih serius.

Ketiga, diversifikasi risiko. Portofolio bisnis bank yang beragam dan segmen yang tidak saling tergantung merupakan kondisi ideal bagi sebuah bank.

Selain keuntungan bisnis, kredit UMK termasuk KUR, memiliki beberapa hambatan utama dalam penyalurannya. Pertama, tingkat kegagalan tinggi. Sebab, banyak usaha yang dibiayai oleh KUR adalah usaha baru.

Secara umum, menurut Nuridin (2007), dalam periode usaha baru berdiri sampai tiga tahun merupakan periode dengan tingkat kegagalan usaha tinggi. Tingginya data NPL KUR bank penyalur merupakan early warning bahwa bank harus memiliki kebijakan pelayanan usaha baru dengan kriteria ketat untuk menghindari penambahan KUR bermasalah.

Kedua, biaya pengelolaan yang tinggi. Karena memasuki segmen UMK maka bank juga harus mengeluarkan biaya tetap dalam pengelolaan rekening termasuk sumber daya manusia. Untuk memasuki segmen UMK bank harus memiliki sumber daya berkualitas dan kuantitas banyak, serta berdedikasi dalam mengelola rekening UMK. Jika tidak maka dapat diprediksi NPL akan meningkat.

Efek penurunan bunga

Nah, dengan turunnya bunga KUR ini menjadi 7% efektif di awal tahun 2018 dapat mengganggu pasar kredit mikro di Indonesia.  Pasar kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan kredit usaha mikro internal bank penyalur berpeluang tergerus.

Pengalaman menunjukkan bahwa banyak nasabah di era zaman now semakin pintar dan akan lebih memiliki preferensi untuk memilih skema KUR dibandingkan dengan skema internal bank. Dengan demikian, pasar kredit mikro BPR yang biasanya menjual bunga dua kali lipat besarnya dari KUR akan segera angkat koper dari bisnis usaha mikro kecil.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah angka 7% merupakan angka yang profitable bagi penyaluran KUR di Indonesia? Untuk melihat profitable tidaknya bisnis KUR ini dapat kita bandingkan secara sederhana dengan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Sebagai contoh, SBDK BRI pada 1 Oktober 2017 untuk  Kredit Mikro adalah 17,50% per tahun. Sedangkan SBDK Kredit ritel sebesar 9,75% per tahun. Dari perbandingan angka bunga di atas maka dapat kita lihat bahwa penyaluran KUR lebih dekat pada aspek sosial, bukan memberikan keuntungan secara komersial bagi bank.

Sebab, biaya yang dikeluarkan oleh bank lebih tinggi ketimbang bunga KUR. Biaya dana yang harus ditanggung bank adalah untuk membayar biaya bunga dana baik tabungan, deposito dan giro, membayar biaya overhead dan biaya lainnya. Berbagai biaya itu  jauh lebih besar ketimbang pendapatan bunga yang akan diperoleh dengan menyalurkan KUR.

Dengan demikian tentu kita bertanya, apa yang akan diperoleh bank dengan menyalurkan KUR? Apa yang dicari dari penyaluran KUR? Jika bukan pendapatan bunga, apa alasan lain gagasan penurunan bunga KUR menjadi 7%?

Kita berharap, perubahan drastis kebijakan KUR ini bukan sekadar bertujuan pencitraan politik, kendati kesan tersebut memang kental. Selain penurunan bunga terjadi tahun 2018, era memasuki tahun politik, kebijakan KUR 2018 mengharuskan penyalurannya  ke sektor pertanian, perikanan, pengolahan, konstruksi menjadi minimum 50% dari penyaluran KUR tahun ini. Sektor-sektor tersebut dinilai memiliki risiko tinggi tapi memiliki massa banyak.

Pengalaman Bank Syariah Mandiri (BSM) yang memiliki tingkat NPL 17,2%, BTN 12,9% serta BPD 9,5% tahun 2015 semoga menjadi pengalaman penting dan berharga. Data NPL itu menunjukkan betapa sulit bank penyalur KUR memelihara kualitas kredit.       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi