Mengkaji data perbankan Indonesia dan membandingkannya dengan perbankan di kawasan akan menyadarkan kita bahwa perbankan Indonesia cukup tertinggal. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Januari 2019 menunjukkan, misalnya, Net Interest Margin (NIM) alias selisih antara suku bunga pinjaman dengan suku bunga dana dari bank umum konvensional di Indonesia berada di angka 5,72%. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, angka marjin keuntungan ini dapat disebut fantastis. Profitabilitas perbankan Indonesia tertinggi di antara negara tetangga, sehingga tak heran banyak bank asing yang tertarik untuk mengakuisisi bank nasional. Bandingkan dengan perbankan Thailand yang rata-rata NIM nya hanya 2,84% pada Januari 2019. Uniknya perbankan Thailand ini sejak dulu secara terbuka dijadikan benchmark oleh otoritas moneter dan jasa keuangan Indonesia. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, saat fit and proper test di DPR tahun lalu menyatakan marjin perbankan Indonesia saat itu terlalu tinggi, yakni di kisaran 5,19%, jauh di atas Thailand.
Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK periode kepengurusan yang lalu juga membuat pernyataan pers yang sama. Seperti yang data yang dilansir OJK di atas, NIM rata-rata Indonesia justru mengalami peningkatan. NIM perbankan Thailand justru makin turun. Mengutip halaman resmi Federal Reserve Bank of State Louis, pada akhir 2015 NIM Thailand sebesar 3,07%, Malaysia 1,72%, dan Filipina 3,58%. Jika dibandingkan dengan periode yang sama, Indonesia akhir 2015 NIM 5,39%, tetap lebih tinggi walau pun sempat sedikit turun, 0,2% , di tahun 2018. Data ini menunjukkan fakta bahwa perbankan Indonesia terlalu tinggi dalam mengambil marjin keuntungan. Akibatnya penyaluran kredit kurang maksimal. Korporasi kesulitan membiayai usahanya atau membebankan biaya bunga kepada konsumennya dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Akibatnya, efisiensi bisnis domestik menjadi rendah, daya saing produk Indonesia lemah dan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi terhambat. Mengapa perbankan di Indonesia "serakah" dalam mengambil marjin keuntungan? Ada beberapa alasan. Pertama, operasional perbankan Indonesia punya efisiensi yang kalah jauh dibanding perbankan tetangga. Rasio Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) Indonesia paling tinggi dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. Per akhir Januari 2019, rasio BOPO bank umum konvensional di Indonesia 87,79%. Ini artinya, untuk menghasilkan laba Rp 1, bank-bank di Indonesia harus mengeluarkan biaya Rp 0,8779. Rasio BOPO ini lebih tinggi ketimbang rata-rata 2014 sebesar 76,29%. Jadi dibandingkan posisi 5 tahun lalu, efisiensi perbankan Indonesia justru memburuk. Sebagai perbandingan, BOPO bank-bank di Malaysia per akhir 2015 hanya sebesar 63,25%, Thailand 80,49%, dan Filipina 75,43%. Sebagian bankir berkilah, efisiensi masih buruk karena perbankan masih perlu ekspansi kantor cabang ke daerah-daerah yang sebetulnya kurang menarik secara bisnis perbankan. Wilayah Indonesia memang luas, sekali dengan disparitas ekonomi yang mencolok antarwilayah. Tanpa regulasi pemerintah, aktivitas bank hanya akan berkutat di wilayah yang menguntungkan saja seperti di wilayah barat Indonesia. Membiarkan kesenjangan pelayanan jasa keuangan antar wilayah ini tentu berbahaya secara sosial. Sebab sejak pengawasan dan pengaturan perbankan dipegang Bank Indonesia, perbankan Indonesia dikenai multiple license regulation karena izin pembukaan kantor cabang di wilayah barat jauh lebih berat ketimbang di wilayah yang tertinggal. Wilayah Indonesia dibagi menjadi 6 zona wilayah, DKI Jakarta masuk zona 1, Jawa Barat termasuk wilayah zona 2, sementara Papua Barat ada di zona 6. Kebijakan multiple license dalam hal pembukaan kantor cabang memang berpotensi menyebabkan rasio BOPO perbankan Indonesia jadi tinggi. Namun merujuk data OJK Januari 2019 jumlah kantor bank justru turun, dari 32.730 buah pada 2017 menjadi 31.676 di Januari 2019, atau berkurang lebih dari seribu kantor. Penyebabnya perkembangan teknologi dan digital banking. Teknologi juga menyebabkan jumlah pegawai bank turun drastis. Kalau sebelumnya jumlah pegawai di 9 bank terbesar di Indonesia mencapai 242.000 orang pada 2016 hanya 224.000 orang pada akhir 2018, berkurang 22.000 orang lebih. Kedua, belum ada alternatif pembiayaan bagi korporasi Indonesia selain dari bank. Pasar obligasi korporasi Indonesia masih sangat kecil sekali size-nya cuma 2,21% terhadap produk domestik bruto (PDB). Kita, jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai lebih 40% dari PDB atau Korea Selatan 90% PDB. Upaya pemerintah dalam membangun pasar obligasi korporasi domestik masih belum jelas arahnya. Malaysia dan Thailand sudah punya Bond Guarantee Fund sejak 10 tahun lalu sehingga kupon bunga obligasi korporasi menjadi jauh lebih murah dan bersaing dengan bunga bank. Emisi obligasi dipermudah sehingga di Thailand, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dapat mengeluarkan obligasi dengan pokok utang setara Rp 20 miliar. Di Malaysia, Dana Jamin yang bertindak sebagai Bond Guarantee Fund di Malaysia lebih jauh lagi. Bukan saja membuka sumber pendanaan alternatif di luar bank dengan cost of fund bersaing, Dana Jamin Malaysia menjadi instrument penting memajukan pasar sukuk di mana Malaysia berambisi menjadi pusat keuangan Syariah terkemuka di dunia. Negara-negara Amerika Latin punya cara lain untuk membuka sumber pendanaan alternatif di luar perbankan, melalui pasar obligasi korporasi bagi UMKM. Umumnya, obligasi yang dikeluarkan UMKM kurang diminati investor, karena risiko yang lebih tinggi, harga bisa jatuh dan likuiditas di pasar sekunder yang jelek, maka Brasil dan Chile membentuk Lembaga jaminan atas pembayaran pokok utang dan bunga obligasi keluaran UMKM domestik. Namun, mereka juga menjamin likuiditasnya di pasar sekunder. Pasar obligasi korporasi yang kuat memberikan mekanisme kontrol terhadap perilaku perbankan. Penentuan suku bunga bank tidak semena-mena untuk mengeruk laba. Keseimbangan antara perbankan dan pasar obligasi korporasi menyebabkan efisiensi pendanaan usaha tercapai. Penyebab ketiga NIM perbankan yang tinggi adalah struktur industri perbankan Indonesia yang mengarah ke jenis pasar monopolistic competition. Karena setiap bank memiliki segmen pasarnya beda dan menguasai segmen itu dengan baik, maka tiap memiliki market power yang kuat.
Penentuan suku bunga menjadi sangat bersifat seller market. Artinya penetapan dilakukan sepihak penjual dalam hal ini bank. Market power inilah yang mendasari mengapa bank-bank kecil dan menengah tetap survive dan menolak diakuisisi atau merger meskipun didorong otoritas keuangan sejak era Arsitektur Perbankan Indonesia. Jumlah bank di Indonesia sampai Januari 2019 ada 115. Bandingkan di Thailand yang hanya 30 bank dan Malaysia cuma 19 bank. Sementara rata-rata asset bank di Thailand dan Malaysia jauh lebih besar dibandingkan dengan perbankan Indonesia. Bank di Indonesia yang beraset di bawah Rp 10 triliun ada 40 bank. Negara dengan jumlah bank sedikit, tapi ukuranya besar sehingga
Big is beautiful!♦
Buddi Wibowo Dosen Pascasarjana, Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi