Stunting dan kerawanan pangan masih jadi tantangan bagi Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia dengan negara agraris serta beriklim tropis sangat membantu dalam potensi agraria dan termasuk komoditi pangan. Namun dari catatan Kementerian Pertanian (Kementan) terdapat 88 kabupaten atau kota di Indonesia rentan rawan pangan. Daerah rentan rawan pangan ditentukan melalui tiga aspek meliputi ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. 

Tiga aspek tersebut dapat berdampak pada kehidupan wilayah rawan pangan, ketersediaan pangan yang kurang sehingga menyebabkan kurangnya asupan gizi. 

Baca Juga: Bulog targetkan salurkan 500.000 ton beras, ini tanggapan Guru Besar Pertanian IPB


“Kami pada bulan Februari ini sudah melakukan penelitian terkait dengan ketimpangan masyarakat miskin dengan konsumsi pangan. Masyarakat miskin menghadapi harga pangan yang mahal. Strategi yang ditempuh keluarga miskin yaitu beralih untuk mengkonsumsi pangan yang murah dan bisa diawetkan. Kelompok 1% termiskin secara rata-rata mengkonsumsi 74.4 kg beras per kapita per tahun, lebih banyak dari kelompok 1% terkaya yang hanya 60,89 kg beras per kapita per tahun”, tutur peneliti IDEAS Fajri Azhari dalam keterangannya, Jumat (28/2).

Tingkat konsumsi yang sangat rendah, kemiskinan pangan dapat membawa pada penyakit kronis dan kematian dini. Penyakit kronis memberi beban ekonomi yang berat dari biaya pengobatan dan hilangnya waktu produktif, dan mendorong si miskin lebih dalam ke lembah kemiskinan. Keluarga berpendapatan rendah dengan jumlah anggota keluarga lebih banyak, memiliki peluang lebih besar mengalami kemiskinan pangan.

“Pencegahan kerawanan pangan dan stunting yang terjadi anak negeri, telah menggerak Dompet Dhuafa dengan berbagai program pertanian dan kesehatan seperti mengembangkan program pertanian sehat terpadu hingga mengimplementasikan program JKIA (Jaringan Kesehatan Ibu dan Anak) dan SNGI (Saving Next Generation Institute) yang berbasis pemberdayaan kader dan komunitas masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan kematian ibu dan anak,”  Direktur Utama Dompet Dhuafa Imam Rulyawan.

Baca Juga: Sampai akhir Februari, stok beras Bulog mencapai 1,7 juta ton

“Juga program STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yang mendorong perilaku bersih dan sehat di lingkungan sekitar dengan sumberdaya yang ada. Program tersebut, dilakukan bersama dengan komponen masyarakat, pemerintah daerah, dinas terkait dan mitra lain yang bekerjasama secara terintegrasi di lapangan”, jelas dia.

Namun pekerjaan rumah yang berat dengan bertambahnya total penduduk di Indonesia, hal ini menjadi tugas bersama antara lembaga kemanusiaan dengan pemerintahan dalam pengentasan kerawanan pangan dan stunting di sejumlah daerah.

Masalah stunting seperti disampaikan oleh Hera Nurlita, Kasi Mutu Gizi Kementerian Kesehatan merupakan masalah multidimensial, terdiri dari penyebab langsung seperti konsumsi makanan tidak beragam, penyakit infeksi, dan tidak mendapatkan imunisasi lengkap. 

“Penyebab tidak langsung berupa kerawanan pangan, pemantauan tumbuh kembang balita yg belum optimal serta akses sanitasi yang tidak layak. Sehingga membutuhkan peran aktif banyak pihak. Pemerintah sudah berkomitmen dan menetapkan arah perbaikan gizi nasional untuk meningkatkan mutu gizi perorangan dan masyarakat," katanya.

Baca Juga: Siap serap beras saat musim panen, Bulog segera gelontorkan 500.000 ton beras

Pada 2018, terdapat 92 kabupaten-kota dengan prevalensi stunting balita lebih dari 40%, dengan yang tertinggi adalah Kab. Nias sebesar 61,3%, Kab. Dogiyai 57,5%, dan Kab. Timor Tengah Utara 56,8%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi