JAKARTA. Bank Dunia mengingatkan pemerintah Indonesia untuk menjaga anggaran subsidi tidak membengkak. Dalam paparan kuartalan yang disampaikan hari ini, Selasa (18/3), ekonom Bnk Dunia Jim Brumby memperkirakan, belanja subsidi Indonesia akan membengkak menjadi 2,6% terhadap Prduk Domestik Bruto (PDB). Nilai itu leih besar dari perkiraan pemerintah semula dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014, sebesar 1,69%. "Dibutuhkan reformasi lanjutan untuk memperluas sumber pendapatan dan membiayai subsidi," ujar Jim, Selasa (18/3) di Jakarta. Salah satu caranya adalah dengan memperbaiki kebijakan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Jika tidak ada perbaikan kebijakan harga, tahun 2014 kebutuhan subsidi BBM bisa lebih dari Rp 250 triliun. Sekadar mengingatkan, tahun 2013 lalu pemerintah telah menaikkan harga BBM bersubsidi berkisar 22% hingga 44%. Bank Dunia menilai, jika kebijakan yang sama dilakukan pada tahun 2014, maka potensi pengurangan jumlah subsidi bisa mencapai Rp 50 triliun. Namun, jika kenaikan harga BBM mencapai 50%, maka potensi pengurangan subsidinya bisa lebih dari Rp 50 triliun. Hanya saja, kalaupun kebijakan kenaikan harga kembali dilakukan, pemerintah harus mempertimbangkan dampak kesenjangan alias gap harga yang terjadi. Apalagi, jika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, akan membuat permintaan BBM bertambah. Sementara itu, menurut ekonom Bank Danamon Anton Gunawan, kebijakan subsidi sudah semestinya dilakukan. Kalaupun tidak menaikkan harga BBM bersubsidi, pemerintah harus mencari cara agar masyarakat mau beralih menggunakan bahan bakar lain. Pilihan lain, masyarakat harus mengurangi konsumsi BBM. Pasalnya, sulit untuk mempertahankan kondisi fiskal dengan kondisi permintaan BBM yang tinggi seperti ini. Apalagi, penerimaan negara terancam tidak akan bisa memanuhi target yang ditetapkan dalam APBN 2014.
Subsidi membengkak, defisit anggaran terancam naik
JAKARTA. Bank Dunia mengingatkan pemerintah Indonesia untuk menjaga anggaran subsidi tidak membengkak. Dalam paparan kuartalan yang disampaikan hari ini, Selasa (18/3), ekonom Bnk Dunia Jim Brumby memperkirakan, belanja subsidi Indonesia akan membengkak menjadi 2,6% terhadap Prduk Domestik Bruto (PDB). Nilai itu leih besar dari perkiraan pemerintah semula dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014, sebesar 1,69%. "Dibutuhkan reformasi lanjutan untuk memperluas sumber pendapatan dan membiayai subsidi," ujar Jim, Selasa (18/3) di Jakarta. Salah satu caranya adalah dengan memperbaiki kebijakan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Jika tidak ada perbaikan kebijakan harga, tahun 2014 kebutuhan subsidi BBM bisa lebih dari Rp 250 triliun. Sekadar mengingatkan, tahun 2013 lalu pemerintah telah menaikkan harga BBM bersubsidi berkisar 22% hingga 44%. Bank Dunia menilai, jika kebijakan yang sama dilakukan pada tahun 2014, maka potensi pengurangan jumlah subsidi bisa mencapai Rp 50 triliun. Namun, jika kenaikan harga BBM mencapai 50%, maka potensi pengurangan subsidinya bisa lebih dari Rp 50 triliun. Hanya saja, kalaupun kebijakan kenaikan harga kembali dilakukan, pemerintah harus mempertimbangkan dampak kesenjangan alias gap harga yang terjadi. Apalagi, jika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, akan membuat permintaan BBM bertambah. Sementara itu, menurut ekonom Bank Danamon Anton Gunawan, kebijakan subsidi sudah semestinya dilakukan. Kalaupun tidak menaikkan harga BBM bersubsidi, pemerintah harus mencari cara agar masyarakat mau beralih menggunakan bahan bakar lain. Pilihan lain, masyarakat harus mengurangi konsumsi BBM. Pasalnya, sulit untuk mempertahankan kondisi fiskal dengan kondisi permintaan BBM yang tinggi seperti ini. Apalagi, penerimaan negara terancam tidak akan bisa memanuhi target yang ditetapkan dalam APBN 2014.