Sudah ada di UU HPP, Pengamat Harap Pajak Karbon Segera Direalisasikan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah mempersiapkan regulasi terkait pajak karbon untuk mengurangi emisi karbon dan mendukung keberlanjutan di Indonesia. Fajry Akbar, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) berharap regulasi ini agar segera direalisasikan.

Ia mencermati implementasi pajak karbon sebenarnya sudah ada dalam peta jalan di Uundang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tepatnya pada sisi penjelasan. Pada tahun 2022 sudah seharusnya diterapkan secara terbatas pada PLTU batubara melalui mekanisme cap and tax dengan tarif Rp30.000/tCO2e

"Namun sampai sekarang, aturan turunan dari pajak karbon belum keluar, kalau aturan turunannya belum ada, sudah tentu implementasi pajak karbon tidak bisa jalan," ungkap Fajry kepada Kontan, Senin (26/8).


Menurut Fajry dalam pembahasan UU HPP yang lalu, pajak karbon merupakan salah satu ketentuan yang alot dibahas. Ada berbagai penolakan yang kuat dari pelaku usaha. 

"Tentu harus segera diimplementasikan, jangan jadi wacana terus, jangan dibuat menggantung. Kalau tak jelas begini, hilang sudah kredibilitasnya dan orang-orang saja sudah pada lupa ada ketentuan pajak karbon di UU HPP," ujarnya. 

Baca Juga: Pajak Karbon Dikhawatirkan Bakal Menambah Beban Pelaku Usaha

Fajry menjelaskan nantinya pengenaan pajak karbon akan menggunakan skema cap, trade, and tax. Pada skema tersebut, atas emisi yang melebihi cap akan terdapat pilihan untuk di-trade dan/atau di-tax (pajak karbon).  Dari sisi budgetaire, tentu potensinya bagi penerimaan akan lebih rendah dibandingkan jika hanya menggunakan skema pajak karbon saja. 

Menurut Fajry Indonesia memiliki  punya komitmen bersama untuk mengurangi emisi dan target penurunan emisi pada tahun 2030. Di sisi lain bagi beberapa masyarakat yang hidup di kota besar Indonesia, terutama Jakarta, baik secara langsung maupun tidak langsung sudah terdampak dari emisi buang yang berdampak buruk bagi lingkungan terutama CO2.  

Kondisi kualitas udara yang ada di Jakarta, yang sudah jauh melebihi ambang batas aman. Sektor industri dan transportasi merupakan kontributor utama. 

"Sudah selayaknya dikenakan pajak karbon. Itu semua demi kondisi udara jakarta yang lebih baik," jelasnya. 

Selanjutnya: Wall St (26/8): S&P 500 dan Dow Jones Dibuka Naik di Tengah Harapan Suku Bunga AS

Menarik Dibaca: Anak Terlambat Berbicara? Ini 6 Cara Mengatasi Speech Delay pada Anak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih