Sudah lulus, ratusan CPNS DKI dinyatakan gagal



JAKARTA. Pupus sudah harapan SA (43) jadi pegawai negeri sipil (PNS) DKI Jakarta. Meski sudah dinyatakan lulus tes calon PNS (CPNS) Kategori II sesuai daftar kelulusan yang ditandatangani Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, surat keputusan honorer (SKH) SA dianggap cacat administratif alias tak sah. SA tidak mengalami sendiri. Ada 121 rekannya yang juga lolos tes CPNS terancam gagal jadi PNS DKI Jakarta. SA mengaku malu kepada keluarga dan para tetangganya. Sejak dinyatakan lulus tes CPNS Kategori II pada Februari 2014 lalu, dia telanjur sudah menyampaikan kabar gembira itu kepada istri dan keluarga besarnya. Istrinya pun menyambut kabar baik itu dengan gembira. Esok harinya, istrinya bahkan teiah membuatkan nasi kuning, lengkap dengan perkedel dan ayam goreng serta sambal pedas. Mereka mengadakan acara sederhana yang disebut sebagai syukuran. Tetangga sekitar rumah pun diundang. Di acara kecil itu, SA mengumumkan kepada para tetangganya, dia sudah lolos menjadi CPNS dan dalam setahun bakal diangkat jadi PNS. Tetangga SA yang tinggal di sebuah desa di kawasan Bekasi itu menyambutnya dengan gembira pula. Satu per satu para tetangga menyalami SA. Bahkan beberapa menyebut SA sudah jadi orang sukses karena berhasil jadi PNS. Bapak tiga anak ini pun bangga. Jadi impian Menjadi CPNS sudah jadi impian sejak SA menjadi pegawai honorer di Suku Dinas (Sudin) Pekerjaan Umum Jakarta Barat. Dia mulai bekerja di sana sejak 1995. Diakui, awalnya dia bekerja tanpa surat keterangan honorer (SKH). Adapun pekerjaan SA sehari-hari yakni mengeruk sampah atau lumpur. Saking ingin menjadi PNS, lelaki ini memilih bertahan bekerja tanpa kejelasan. Kemudian pada tahun 2007, SA mendapat SKH dari DPU DKI Jakarta. Di SKH tahun 2007 itu, SA ditulis telah bekerja dari tahun 2005. SKH inilah yang kemudian jadi masalah. Setelah lulus tes CPNS, pihak DPU DKI meminta SA mencari kembali Kepala DPU era tahun 2005. Lalu Kepala DPU yang kini sudah pensiun itu harus membuatkan surat pernyataan bertanggung jawab mutlak atas SKH tersebut. "Ya tidak maulah kepala dinas yang sudah pensiun itu bertanggung jawab. Dia hanya memberikan surat pernyataan bahwa saya sudah bekerja sejak tahun 1995 di Gedung Pompa Jakarta Barat," ujar SA kepada Warta Kota. SA mengaku, selama jadi pegawai honorer hidupnya hanya pas-pasan. SA bertahan dengan gaji Rp 2,2 juta per bulan. Uang sebesar itu sebenarnya tidak cukup untuk hidup sebulan. Sisanya dia dapat dari bekerja serabutan. Mulai dari memperbaiki rumah tetangga sampai membersihkan kamar mandi tetangganya di kompleks elite. Seumur hidup Nasib serupa dialami SN (41), pegawai honorer lainnya di salah satu kelurahan di Jakarta Selatan. Dia jadi pegawai honorer sejak tahun 1999. Awalnya, SN diminta seorang lurah untuk jadi pegawai honorer di bagian ketenteraman dan ketertiban. Dia kemudian mendapat surat tugas yang dikeluarkan lurah. Sejak jadi pegawai honorer, SN berharap bisa diangkat jadi PNS, makanya dia bertahan habis-habisan untuk tetap jadi pegawai honorer, walaupun penghasilannya pas-pasnya. SN mendapat gaji tiga bulan sekali. Setiap bulan dia mesti berutang, mulai dari beras sampai lauk-pauk. "Jadi, begitu saya terima gaji tiga bulan sekali, uangnya langsung tersedot buat bayar utang lebih dari separuhnya," kata SN kepada Warta Kota pekan lalu. SN mengaku bekerja seharian penuh, hampir 24 jam setiap harinya. Pagi sampai sore hari, SN bekerja di kantor kelurahan. Dia disuruh ke sana-kemari, paling sering untuk fotokopi berkas. Kemudian seusai jam kantor, SN pergi ke salah satu apartemen dekat tempat kerjanya. Dia bekerja sebagai sekuriti di sana. Upahnya Rp 600.000 sebulan. Biasanya SN berjaga sampai semua penghuni masuk. Selanjutnya, seusai semua penghuni masuk apartemen, SN memilih tidur tiga sampai empat jam. Kemudian bangun pagi harinya dan langsung pergi bekerja di kantor kelurahan lagi. Sampai di kantor kelurahan, apabila belum ada pekerjaan, SN memilih tidur beberapa saat di kursinya. Seperti pada Rabu (30/4/2014), SN tertidur dengan kacamata hitamnya. Dia memakai sandal jepit dan duduk di kursi bosnya. Begitu bosnya datang, SN terbangun dan menyingkir, melepas kacamata hitamnya lalu pergi dari ruangan. Pengorbanan SN kini sia-sia. Dia gagal jadi PNS. Padahal harapan menjadi PNS sudah memuncak. "Saya pikir saya akan diangkat jadi PNS. Ternyata tidak juga. Sekarang usia saya sudah 41 tahun. Sulit mencari pekerjaan dengan ijazah SMP. Mungkin saya akan di sini terus. Saya sudah merelakan jadi pegawai honorer seumur hidup," ujar SN sambil menitikkan air mata. Masalah sepele Ratusan CPNS yang sudah lolos tes, tetapi nasibnya menjadi tidak jelas sebenarnya hanya karena persoalan spele. Ini terjadi lantaran karut-marutnya pengaturan pegawai honorer di DKI. Semua masalah ini berawal saat pendataan pegawai honorer di DKI Jakarta tahun 2009 dan 2010. Ketika itu, di beberapa dinas, termasuk DPU Jakarta, para petugas honorer tidak dibekali SKH, padahal umumnya sudah bekerja sejak tahun 2004. Makanya ketika ada wacana akan ada pendataan honorer untuk ikut tes CPNS, banyak pegawai honorer berbondong-bondong membuat SKH ke kepala dinasnya masing-masing. Termasuk SA yang kemudian secara mulus mendapat SKH-nya. Selanjutnya tahun 2013 akhir, SA diundang ikut tes CPNS. Saat itu ada 400 pegawai honorer DPU yang ikut tes. Kemudian, pada Februari 2014 menjadi bulan paling berbahagia bagi SA dan 121 rekannya di DPU DKI. Mereka dipastikan lobos tes CPNS. Namun, kebahagiaan itu kini sirna. Pada April 2014, bagian kepegawaian DPU DKI justru menyatakan mereka gagal saat pemberkasan. DKI beranggapan SKH yang dibuat tahun 2009 dan 2010 untuk SA tak sah. Begitu pula rekan-rekan SA lainnya. Terhitung dari 122 yang lolos tes SPNS, hanya 10 pegawai honor yang dinyatakan SKI-1-nya sah. Bagi SA ini tak masuk akal sebab sebelum tes berlangsung SKH itu sudah dinyatakan sah. "Kok begitu pemberkasan jadi tak sah. Aneh ini," kata SA. Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Manggas Rudi Siahaan mengakui kacaunya tes CPNS ini. Rudi mengaku ada banyak peserta yang tidak lulus menyanggah secara tertulis bahwa sebagian yang lulus melakukan rekayasa administrasi. Makanya dilakukan proses verifikasi. "Mudah-mudahan setelah selesai validasi dan verifikasi secara jujur hal ini bisa cepat rampung," kata Rudi kepada Warta Kota, Jumat (2/5/2014) pekan lalu. (ote)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Dikky Setiawan