KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sukses menguat tajam di semester pertama tahun ini, prospek harga emas ke depan dinilai sangat bergantung pada perkembangan perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Meski negitu, analis memproyeksi harga emas masih berpeluang untuk naik di semester II-2019. Berdasarkan data
Bloomberg per Jumat (28/6), harga emas untuk kontrak pengiriman Agustus 2019 di Commodity Exchange dalam enam bulan terakhir menguat 8,73% di harga US$ 1.413,70 per ons troi. Kepala Koordinator Riset Rifan Financindo Berjangka Muhammad Barkah mengatakan, harga emas semakin menguat ketika sejumlah sentimen negatif global bergulir. Apalagi ketegangan di Timur Tengah semakin terasa, sehingga emas dipercaya sebagai aset
safe haven. Sementara itu, permintaan
safe haven yang
bullish, merosotnya Dollar AS, kondisi geopolitik yang mulai memanas, serta kebijakan moneter bank sentral yang longgar dan
bullish secara teknikal menggerakkan harga logam mulia ini untuk terus naik. "Namun, keuntungan kuat baru-baru ini telah membuat emas sekarang berada pada kondisi overbought dalam jangka pendek secara teknikal, yang berarti pasar sudah tiba waktunya mengalami koreksi penurunan yang sehat dan normal segera," kata Barkah, Senin (1/7). Barkah menilai sentimen di pasar logam mulia bergerak sangat
bullish tak tertahan di pekan lalu, di mana harga emas terdorong naik ke level tertinggi selama enam tahun terakhir, namun pada saat mendekati penutupan perdagangan akhir pekan hari Jumat (28/6), sentimen penguatan semakin berkurang, dengan pasar mulai mempertanyakan akan ekspektasi mereka yang agresif untuk penurunan suku bunga acuan The Fed (Fed Fund Rate/FFR). "Logam mulia mulai mengalami tekanan jual pada akhir minggu dan tidak berhasil untuk mendapatkan momentum konsisten setelah anggota The Fed mencoba menguasai ekspektasi adanya kebijakan moneter yang agresif secepatnya di bulan depan," tambahnya. Di sisi lain, ketegangan antara AS dengan Iran di daerah Teluk Persia terus bergolak. Pada hari Senin (24/6) Trump mengatakan akan ada sanksi baru yang besar yang dikenakan kepada Iran dan menyebut negara itu sebagai negara sponsor teroris nomor satu. Situasi ini akan mereda sejenak, namun memungkinkan untuk bertambah buruk sebelum akhirnya membaik. Situasi ini memberikan sentimen
bullish bagi
safe-haven emas dan bagi minyak mentah dan kemungkinan tidak akan menurun dalam jangka waktu dekat. Di sisi lain, Trump mengatakan bakal menunda bea masuk baru untuk produk-produk dari China, setelah pihak China setuju untuk membeli beberapa produk agrikultur asal AS. "Para investor memperkirakan hasil pertemuan Trump Jinping tersebut akan menimbulkan
risk appetite yang bisa menekan harga
safe haven emas," ungkap Barkah. Kemudian, untuk Semester II-2019 Barkah menilai prospek harga emas masih terbantu oleh optimisme bahwa ketegangan perdagangan antara AS an China akan mereda. Namun banyak ekonom memperkirakan sentimen tersebut tidak akan bertahan lama. Penurunan eskalasi setelah pertemuan pekan lalu, akan menghasilkan risiko
rally yang berkelanjutan dengan potensi pengumuman gencatan senjata perdagangan yang dipandang skeptis oleh para investor. Ketegangan perdagangan akan terus membebani pertumbuhan ekonomi dan akan memaksa The Fed untuk memangkas tingkat bunga acuannya. "Walaupun The Fed tidak akan memangkas tingkat suku bunga sebanyak 50 basis poin di Juli, dan diperkirakan ada tiga kali pemangkasan suku bunga selama tiga kuartal mendatang, itu akan memberikan sentimen
bullish bagi pergerakan logam mulia," paparnya. Sehingga, Barkah memperkirakan pergerakan harga emas pada semester II akan bergerak di level
resistance antara US$ 1.477,40, US$ 1.544,70, US$ 1.717,65 per ons troi, sedangkan untuk support antara US$ 1.304,45, US$ 1.198,80, US$ 1.025,85 per ons troi. Sementara itu, untuk level
resistance harian Barkah memperkirakan bakal berada di kisaran US$ 1.421,30, US$ 1.432,50, US$ 1.451,55 dan support harian antara US$ 1.402,25, US$ 1.394,40, US$ 1.375,35. Sementara itu, Analis Maxco Futures Suluh Adil Wicaksono menilai penguatan harga emas sudah terlalu tajam dalam enam bulan pertama tahun ini. Menurut Suluh, beberapa faktor pendorong kenaikan harga emas tersebut, disebabkan pernyataan rencana Bank Sentral AS (The Fed) yang bakal memangkas suku bunga acuannya (FFR) dalam waktu dekat, hingga sentimen perang dagang antara AS dan China. Ditambah lagi, penguatan dollar AS di pertengahan semester I-209 menjadi momentum bagi pasar untuk membeli emas. "Sedangkan saat ini justru momentum untuk menjual emas seiring kesepakatan antara Trump dan Presiden ChinaXi Jinping, usai pertemuannya di G20. Meskipun, masih terlalu dini untuk menilai bahwa harga emas di semester II akan mengalami penurunan karena hal tersebut," kata Suluh Minggu (30/6). Suluh menjelaskan, momentum kenaikan harga emas masih ada ketika kesepakatan Trump dan Xi Jinping tidak disertai langkah konkrit ke depannya. Misalnya, kepastian tidak akan ada penambahan pajak atas barang China kedepan, atau langkah The Fed berikutnya terkait pemangkasan suku bunga. "Hal-hal tersebut masih akan menjadi pengaruh penting pergerakan harga emas di semester II-2019," tuturnya.
Sehingga, untuk jangka pendek Analis Maxco Futures tersebut memperkirakan harga emas akan cenderung terkoreksi dalam waktu dekat, untuk kemudian melaju ke harga US$ 1.500 per ons troi di 2020. "Kami menilai emas masih mungkin menuju level US$ 1.500 di akhir tahun hingga triwulan 2020. Tetapi bisa juga terkoreksi di bawah US$ 1.400 awal semester II-2019, karena menanti kepastian dari hasil pertemuan G20," ujarnya. Suluh meyakini koreksi harga emas hanya bersifat sementara, sebelum akhirnya bisa naik kembali. Adapun level psikologis
support I emas saat ini bergeser di level US$ 1.350 per ons troi dan
resistance I di US$ 1.450 per ons troi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi