KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) kini jadi mata uang yang perkasa saat inflasi Amerika Serikat (AS) melaju dan agresifnya kebijakan moneter The Fed. Indeks dolar AS sudah berada di level 108,11 atau naik 16,72% secara tahunan. Inflasi AS pada Juni 2022 tercatat 9,1%, atau tertinggi dalam 41 tahun terakhir. Tingginya inflasi AS, dikhawatirkan akan membuat The Fed lebih agresif menaikkan bunga demi meredam laju inflasi tersebut. Sementara jika dihadapkan dengan rupiah, nilai tukar dolar telah sempat menembus level 15.000. Namun, pada penutupan Jumat (15/7), nilai tukar dolar terhadap rupiah berada di level 14.997. Sementara secara year to date, dolar AS sudah berhasil menguat 5,14% terhadap rupiah.
Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf menyebutkan, penguatan dolar AS tersebut memang bisa menjadi faktor pemberat bagi rupiah seiring adanya potensi capital outflow, khususnya di pasar obligasi. Namun, ia menyebut rupiah punya fundamental dari dalam negeri yang cukup baik untuk menghadapi tersebut.
Baca Juga: Rupiah Melemah 0,12% Dalam Sepekan Akibat Tingginya Inflasi AS Inflasi domestik memang mulai meningkat ke 4,4%, tapi Bank Indonesia (BI) menyebut inflasi nantinya masih akan ke kisaran 2%-4%. Lalu, data-data ekonomi dalam negeri juga cenderung kuat, terutama cadangan devisa yang naik menjadi US$ 136,4 miliar di Juni dan neraca perdagangan di Juni yang mengalami surplus US$ 5,09 miliar. Selain itu, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Juni 2022 sebesar 128,2 atau tetap berada pada level optimistis, relatif stabil dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 128,9. Kenaikan harga komoditas, seperti batu bara, juga masih menjadi sentimen positif buat Rupiah. Oleh karena itu, Alwi melihat, memegang dolar AS untuk jangka menengah atau panjang kurang menarik. Terlebih kondisi USD/IDR sudah overbought dan berada di level 15.000. Menurutnya ini akan membuat BI akan menjaga level tersebut untuk stabilitas mata uang dengan Intervensi. “Kemudian, ketika inflasi AS mulai melandai, maka ekspektasi kenaikan suku bunga yang aresif juga akan menurun, sehingga membuat dolar AS juga koreksi dan ini memberi ruang bagi rupiah untuk menguat,” jelas Alwi kepada Kontan.co.id, Sabtu (16/7). Oleh karena itu, ia meyakini, memegang dolar Kanada atau dolar Australia jauh lebih prospektif untuk saat ini. Menurutnya, dengan kedua bank sentral yang sama-sama mengadopsi kebijakan hawkish masih akan mendukung kedua mata uang tersebut. Bank sentral Kanada (BoC) sejauh ini telah agresif menaikkan suku bunganya sebesar 100 bps dan RBA 50 bps. Apalagi, data tenaga kerja Kanada juga masih solid sehingga masih membuka ruang pengetatan BoC lainnya. Alwi juga menyebut harga minyak yang diproyeksikan masih tinggi, turut mendukung sentimen positif bagi loonie.
Hal yang sama juga tengah menyelimuti dolar Australia. Bank sentral Australia (RBA) sejauh ini juga termasuk bank sentral yang hawkish dan agresif. Selain itu, kenaikan harga bijih besi dan batubara juga disebut mendukung sentimen untuk aussie. Oleh karena itu, Alwi meyakini mata uang ini juga punya prospek yang tak kalah menarik untuk dikoleksi. “Untuk CAD/IDR, investor bisa beli pada area 11.330 dengan target di kisaran 11.900. Sementara untuk AUD.IDR, bisa beli di level 10.000 untuk kemudian dijual di target harga 10.800,” kata Alwi.
Baca Juga: Memilih Aset Investasi Aman Alias Safe Haven di Tengah Lonjakan Inflasi AS Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat