JAKARTA. Proses divestasi 10,64% saham PT Freeport Indonesia sudah sebulan ini mandek lantaran perusahaan asal Amerika Serikat tersebut belum juga menawarkan sahamnya kepada pemerintah. Adapun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Freeport harus mendivestasikan sahamnya hingga 20% pada 14 Oktober 2015 dan 30% pada 14 Oktober 2019. Saat ini, saham pemerintah di Freeport baru sebesar 9,36%. Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Mohammad Hidayat mengatakan Freeport memang seharusnya sudah menawarkan sahamnya tersebut kepada pemerintah. Hal itu sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini.
"Kami sudah punya undang-undang dan PP yang mengatur soal divestasi. Selama tidak ada aturan lain, ya itu yang dipakai," ujarnya di Kantor Dirjen Minerba, Jumat (13/11) lalu. Dia mengungkapkan belum adanya penawaran dari Freeport membuat Kementerian ESDM belum bisa mengambil sikap. Padahal, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno sudah menyurati Kementerian ESDM dengan menyatakan siap menugaskan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) untuk membeli saham divestasi tersebut. "Kami belum bisa membahas dengan BUMN karena penawarannya saja belum ada. Nilainya berapa juga belum ada," tuturnya. Seperti diketahui, harga saham yang ditawarkan Freeport akan menjadi acuan Kementerian ESDM untuk melakukan evaluasi. Setelah itu, barulah ESDM menyerahkan kepada Menteri Keuangan untuk segera ditindaklanjuti. Pemerintah pun memiliki batas waktu selama 90 hari sejak penawaran itu untuk menentukan sikap. Jika pemerintah pusat maupun daerah tidak berminat, maka akan ditawarkan secara berjenjang kepada BUMN, badan usaha milik daerah (BUMD), dan badan usaha swasta nasional. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan pihaknya telah mengingatkan Freeport untuk segera menawarkan sahamnya. Meskipun begitu, dia mengungkapkan berdasarkan regulasi yang ada, tidak ada tenggat waktu. "Sudah kami kirimkan surat. Ya kami akan terus ingatkan," ujarnya. Menurutnya, masih belum ada sanksi yang bisa diterapkan bagi Freeport. Namun, pihaknya juga kini tengah mempertimbangkan apakah akan menetapkan tenggat waktu yang bisa diberikan. "Kalau masih koridor tidak ada masalah. Tapi, kalau lewat tahunnya mungkin akan ada sanksi," ujarnya. Terkait dengan surat peringatan yang dilayangkan Kementerian ESDM, Freeport tidak menyatakan sikapnya secara jelas. Tidak ada pembenaran maupun sanggahan apakah surat tersebut sudah diterima atau tidak. Yang jelas pihak Freeport masih berkeras untuk menunggu aturan teknis pelaksanaan divestasi tersebut sebelum menawarkan sahamnya pada pemerintah. Perusahaan tambang yang beroperasi di Papua tersebut menilai konstruksi hukum dalam proses divestasi tersebut masih belum jelas. "Kami sudah berkomitmen untuk divestasi. Mekanismenya masih kami tunggu," kata juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama kepada KONTAN, Minggu (15/11).
Adapun mekanisme divestasi yang dikehendaki oleh Freeport adalah melalui penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) di bursa. Freeport menilai divestasi melalui bursa tersebut akan lebih transparan dan akuntabel dibandingkan dengan penawaran langsung, meskipun muncul kekhawatiran pihak asing yang membeli sahamnya. Namun, hingga kini belum ada aturan yang membolehkan proses divestasi perusahaan tambang melalui IPO. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto