KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Unilever Indonesia Tbk (
UNVR) dinilai masih punya jalan yang panjang untuk menuju pemulihan. Di satu sisi, berbagai sentimen negatif justru tengah menyelimuti prospek emiten
consumer staples ini. Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia Edward Tanuwijaya dalam risetnya pada 27 Mei menuliskan, UNVR masih punya jalan yang panjang menuju pemulihan. Menurutnya, dengan kondisi pandemi Covid-19 yang masih berlarut-larut, masyarakat lebih memfokuskan pengeluarannya pada makanan segar dan FMCG. “Sementara barang-barang rumah tangga dan perawatan pribadi tidak diprioritaskan untuk saat ini, padahal keduanya berkontribusi terhadap 71% penjualan UNVR. Belum lagi, UNVR juga harus menghadapi tantangan dari persaingan yang lebih ketat untuk segmen ini,” tulis Edward dalam risetnya.
Di tengah pelemahan daya beli masyarakat akibat pandemi yang berkepanjangan, UNVR pun menyiasatinya dengan membuat lebih banyak produk sasetan berharga lebih murah juga berinovasi ke produk yang diperlukan saat pandemi.
Baca Juga: Rutin lakukan testing, Unilever Indonesia gunakan Abbott Panbio Antigen Nasal Hanya saja, analis Samuel Sekuritas Nasrullah Putra Sulaeman melihat langkah tersebut sebatas membuat UNVR tetap mempertahankan pangsa pasarnya. Pasalnya, kompetitor UNVR saat ini juga melakukan hal yang serupa. Oleh karena itu, ia melihat ke depan kompetisi masih akan tetap ketat. Di satu sisi, ia bilang, saat ini UNVR cenderung diselimuti sentimen negatif, yakni kenaikan harga komoditas seperti CPO dan minyak mentah. Hal ini menjadi katalis negatif mengingat bahan baku menyumbang 83%
Cost of Goods Sold (COGS) di mana sebagian besar terkait dengan CPO dan minyak mentah. “Pada akhirnya, kenaikan harga
soft commodities juga menjadi kekhawatiran untuk investor dikarenakan margin UNVR yang terancam terpangkas. Apalagi pertumbuhan ekonomi yang cenderung lemah semakin menekan daya beli masyarakat ke depan,” kata Nasrullah kepada Kontan.co.id, Rabu (14/7).
Lebih lanjut, Edward juga melihat kebijakan perubahan pembobotan menjadi berbasis
free float juga akan menjadi sentimen negatif untuk saham UNVR. Pasalnya, UNVR memiliki
presentase free float yang rendah, yakni 15%, sehingga pembobotannya turun dari 3,1% menjadi 1,4% atau turun 1,7%.
Baca Juga: Investor asing net buy Rp 211 miliar meski IHSG anjlok 1,09% ke 6.012, Selasa (13/7) Edward menambahkan, valuasi UNVR yang terlalu tinggi harus diturunkan seiring terjadinya penurunan pada pertumbuhan pendapatan dan laba bersih. Sebelumnya, CAGR untuk pendapatan dan laba UNVR pada periode 2009-2014 masing-masing sebesar 14%. Sementara CAGR pada periode 2015-2020 hanya 3% untuk pendapatan dan 4% untuk laba. “Hal tersebut bisa terjadi seiring dengan semakin ketatnya persaingan, ditambah dengan melemahnya daya beli masyarakat. Kami memperkirakan pertumbuhan CAGR untuk pendapatan dan laba UNVR akan tetap rendah pada kisaran 1% untuk 2021-2024,” kata Edward.
Baca Juga: IHSG anjlok 1,09% ke 6.012 pada akhir perdagangan Selasa (13/7) Sementara Samuel Sekuritas menurunkan proyeksi laba bersih UNVR menjadi Rp 7,2 triliun atau lebih rendah 4,4% dari proyeksi awal sebesar Rp 7,5 triliun. Artinya, tahun ini laba bersih UNVR diproyeksikan tumbuh 1,1% dibandingkan realisasi tahun lalu sebesar Rp 7,16 triliun. Sedangkan dari sisi pendapatan, Nasrullah menilai UNVR juga masih dapat mencatatkan pertumbuhan penjualan sebesar 3,9% menjadi Rp 44,6 triliun. Kenaikan ini didorong oleh segmen foods & refreshment yang masih berpotensi untuk tumbuh karena potensi pemulihan pada sektor hotel restoran dan catering (horeca). Adapun, Nasrullah merekomendasikan hold untuk saham UNVR dengan target harga Rp 5.900 per saham. Sementara Edward menurunkan rekomendasinya dari beli menjadi jual dengan target harga Rp 4.800 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli