Suhandi Wijaya, pionir printer infus di pasar lokal (2)



Bagi Suhandi Wijaya, kesuksesan merupakan sesuatu yang harus diraih dengan kerja keras. Meski orang tuanya pengusaha, Suhandi memilih memulai bisnisnya sendiri. Makanya, ia pantang menyerah kala mengenalkan printer infus ke pasar Indonesia yang saat itu dirajai oleh printer dengan tinta isi ulang atau refill. Jatuh bangun dalam bisnis sudah dilakoni Suhandi Wijaya, sebelum akhirnya mendirikan Bluerayshop. Terhitung, ada delapan bisnis yang sempat ditekuninya, mulai dari bisnis penyedia alat tulis kantor, furnitur, komputer, printer, lampu tenaga matahari, sampai dengan menjual buku elektronik (e-book) tentang kesehatan.Meski terlahir dari keluarga yang berlatar belakang wirausahawan, Suhandi mengaku memilih jalannya sendiri kala memulai usaha. Ia tak mau mengekor usaha orang tuanya yang menjadi rekanan bisnis perusahaan minyak di Indonesia. Baginya, kesuksesan tak bisa diperoleh secara instan, tapi butuh pengorbanan.Makanya, saat merintis usaha, Suhandi mempersiapkan bisnisnya sendiri. Bak superman, ia melakoni semua pekerjaan sendiri saat memulai usahanya, mulai dari menawarkan produk ke calon konsumen, mengirimkan penawaran hingga mengantar barang. Tak ayal, ia harus begadang bila pesanan datang bertubi. Ia juga kerap menerima penolakan penawaran. "Seperti makanan sehari-hari," ujarnya mengenang. Mengutip Einstein, bagi Suhandi, bisnis adalah persistent. Kesuksesan bisnis diraih karena 99% karena kerja keras. "Hanya 1% yang merupakan talent atau bakat," ujarnya. Kengototan dalam usaha yang dimulai dari nol, wajib dilakukan oleh siapapun yang akan memulai bisnis. Tak peduli, apakah ia seorang sarjana lulusan Amerika seperti dirinya. Menurut Suhandi, dunia pendidikan hingga perguruan tinggi hanya memberi ilmu umum. "Kehidupan bisnis adalah yang sebenarnya," ujarnya. Makanya, ia harus terjun ke lapangan untuk mencecap ilmu bisnis yang sesungguhnya. Apalagi, bisnis punya banyak jenis dari jasa, hingga penjualan produk. "Ini tak bisa dipelajari di bangku kuliah, harus ke lapangan," ujar Suhandi yang mengaku mendapat banyak ilmu mulai dari manajemen, marketing, teknologi hingga leadership saat terjun ke dunia bisnis. Saat masih berbisnis jual beli alat tulis kantor, Suhandi tahu persis kalau bisnisnya akan mengalami pasang surut. Makanya, ia terus mencari alternatif usaha yang kelak punya prospek bagus di Indonesia. Dalam benaknya, ia ingin menjadi orang pertama yang menjual atau membawa barang ke pasar Indonesia. "Menjadi pionir selalu menjadi keinginan saya," ujarnya. Apalagi, menjadi pionir dalam segala hal punya banyak keuntungan lantaran membuat penasaran konsumen dan akan berlanjut untuk mencobanya. Bandingkan bila masuk usaha yang sudah banyak pemain. "Bisnis akan lebih sulit berkembang," tambahnya. Makanya, Suhandi menerima risiko dianggap orang tak waras ketika memperkenalkan produk printer infus pertama kali di Jakarta Convention Center (JCC) tahun 2001-an. Dalam sebuah pameran, Suhandi menjual printer infus pada masa awal dirilis modelnya masih berbentuk botol besar.

Ia mendatangkan printer infus itu dari Taiwan. Saat kebanyakan orang menggunakan printer dengan tinta isi ulang atau refill, kehadiran printer infus dianggap barang aneh dan mengundang perhatian. Dengan berbagai kelebihan dan harga yang lebih murah dari printer dengan tinta refill, bisnis printer infus dengan cepat mendapat tempat di kalangan pebisnis. Lantaran memiliki modal terbatas, Suhandi tetap menerapkan konsep cash on delivery (COD) dalam penjualannya, persis saat berbisnis alat tulis kantor. "Habis modalnya tak ada. Kalau utang bank, harus ada barang yang diagunkan. Dan, saya tak punya itu," ujar Suhandi yang menggandeng dua temannya untuk berbisnis printer infus ini. Semakin tingginya permintaan produk printer infus tersebut membuat Suhandi juga mendapat banyak tawaran untuk pengadaan printer ke berbagai daerah. Salah datang dari calon bupati di Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang nilai kontraknya Rp 10 juta. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, ketika barang sudah diantar, ia malah tak dapat pembayaran. "Pengalaman semacam ini tentu mungkin kita dapat dari sekolah," ujarnya. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi