KONTAN.CO.ID -
Indonesia sedang menuju data tunggal yang valid dan bisa menjadi acuan semua pihak. Prioritas pertama adalah menyajikan data pangan satu-satunya, mulai dari padi. BPS memakai metode baru untuk mengumpulkan data produksi beras nasional. Namanya: Kerangka Sampel Area (KSA). Mulai awal tahun ini, mereka menerapkan KSA yang hasilnya akan menjadi data tunggal produksi beras. Seberapa valid metode anyar ini bisa menghasilkan data tunggal produksi beras? Setelah beras, data pangan apa lagi yang akan menyusul? Kepala BPS Suhariyanto menjelaskannya kepada wartawan Tabloid KONTAN Ragil Nugroho beberapa waktu yang lalu. Berikut nukilannya: KONTAN: Kenapa data di Indonesia bisa beda-beda? SUHARIYANTO: Kalau bicara data, dari dulu acuannya selalu BPS sesuai amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik. BPS ditugaskan melakukan survei dan pengumpulan data. Kalau melihat data pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, kemiskinan, semua sama. Data yang dipakai Kementerian Keuangan (Kemkeu), Bappenas, dan lembaga lainnya pasti sama. Permasalahan baru muncul ketika berbicara data sektoral. Kalau mengacu pada UU Statistik, data dibagi tiga. Pertama, statistik dasar. Kedua, statistik sektoral. Dan ketiga, statistik khusus. Statistik dasar untuk kepentingan luas, lintas sektoral, misalnya, ya itu tadi, pertumbuhan ekonomi, inflasi, sensus penduduk, sensus ekonomi, sensus pertanian. Kalau data sektoral yang biasanya dikumpulkan kementerian dan lembaga untuk kelancaran tugas pokok dan fungsinya. Ambil contoh, data jumlah guru. Kami tidak mengumpulkannya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lah yang mengumpulkan. Lalu, jumlah kendaraan kami ambil dari Polri. Ada juga jumlah kejahatan yang kami ambil dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham). Sedang data statistik khusus merupakan data yang dikumpulkan oleh masyarakat, lembaga penelitian, dan universitas untuk kepentingan yang lebih spesifik. Misalnya, pergi ke suatu daerah untuk mengambil data kualitatif terkait eksplorasi ketepatan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bisa juga lembaga penelitian yang mengumpulkan quick count pemilihan umum (pemilu). KONTAN: Idealnya, pengumpulan data bagaimana? SUHARIYANTO: Dalam posisi ideal, ketiga data itu seharusnya saling mendukung menjadi satu kesatuan yang dinamakan Sistem Statistik Nasional (SSN). Di negara mana pun begitu. Di BPS, semua konsep, definisi, dan metodologi harus mengacu panduan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tidak bisa melenceng sendiri. Contohnya, ketika menghitung pertumbuhan ekonomi, ada 700 halaman buku pegangan manual dari PBB. Atau, untuk data kemiskinan, kami mengacu ke manual
of proverty and inequality yang digunakan hampir seluruh negara di dunia. Setiap bulan Maret, seluruh kepala BPS dari seluruh dunia berkumpul di PBB. Permasalahan muncul, ketika di kementerian tidak ada statistisi yang bagus dan paham, bagaimana konsep serta definisi dalam mengumpulkan data. Sehingga, ini menimbulkan kesalahan data. Karena itu wilayah dasar sektoral dan khusus, maka garisnya tidak tegas. Tapi, kalau data dasar, secara umum mengacu kepada data BPS. Yang diambil dari kementerian merupakan data sektoral. Tantangannya sekarang adalah, bagaimana data-data yang dikumpulkan kementerian itu mengacu pada standar yang ada. Untuk mengatasi ini, strategi jangka pendek kami punya Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) yang memberikan pelatihan kepada fungsional statistisi di masing-masing kementerian. Kami yang menyediakan training di Pusdiklat BPS untuk mendukung supaya statistik lebih populer. Jangka menengahnya, BPS punya Politeknik Statistika setara sekolah tinggi. Kami punya 2.000 mahasiswa dengan ikatan dinas. Nanti, lulusan inilah yang akan membantu kementerian-kementerian, tiap tahun 100 orang akan kami berikan ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB). Harapannya, statistik tidak hanya kuat di BPS, tapi merata. Kalau itu bisa dilakukan, data sektoral jadi bagus dan ini berdampak pada kita semua. Jadi, sekaligus konfirmasi atas berita yang beredar, bahwa tidak semua data dikumpulkan oleh BPS. KONTAN: Itu berarti, kementerian dan lembaga pemerintah lainnya tidak memiliki kemampuan dalam mengumpulkan data-data, ya? SUHARIYANTO: Kementerian masing-masing punya Pusat Data dan Informasi (Pusdatin). Mereka punya orang-orang yang mengambil dan mengolah data. Tetapi,
background mereka tidak semua murni statistik seperti di BPS. Lalu, jumlahnya juga relatif kurang dan tidak punya SDM hingga ke daerah-daerah. Saya tidak bilang mereka tidak bagus, lo, ya. Bagaimanapun, itu menyebabkan perbedaan interpretasi data. Datanya sama, namun karena konsep dan definisinya berbeda, maka hasilnya bisa berbeda. Makanya, saya selalu bilang kepada mahasiswa saya di Politeknik Statistika, sebelum menyajikan data, harus tahu definisinya. Contoh, data kemiskinan. Ini penjelasan dan kategori bisa berbeda. Sehingga, sangat penting bagi kita untuk segera memiliki data tunggal yang valid dan bisa menjadi acuan semua pihak. KONTAN: Untuk data tunggal, itu hanya pangan? SUHARIYANTO: Seperti yang saya bilang tadi, kalau data dasar sudah satu data, tinggal sektoral yang lagi dicoba. Sementara data pangan yang menjadi prioritas. Mengapa? Ini berkaitan dengan kebijakan lanjutan seperti impor. Selain itu, untuk mengumpulkan data pangan sangat sulit karena wilayah kita sangat luas, ada 514 kabupaten di Indonesia. Di BPS, prinsip saya, pertama, metodologinya harus objektif. Kita mengacu kepada standar lembaga internasional. Kedua, metodologinya harus didukung teknologi terbaru supaya hasilnya cepat dan akurat. Ketiga, harus transparan. Caranya dengan mengundang lembaga-lembaga dan para ekonom. Kalau ini semua dilakukan dengan baik, saya yakin akan memperbaiki data kita. KONTAN: Kelak, satu data pangan untuk padi saja atau komoditas lain juga? SUHARIYANTO: Sekarang memang untuk padi saja. Ke depan, masih dicek lagi, apakah bisa diterapkan untuk jagung atau komoditas strategis lain. Kalau padi harus ditanam di hamparan luas, sedangkan jagung bisa ditanam di sela-sela. Mereka memiliki karakteristik beda. KONTAN: Untuk menyiapkan data tunggal pangan, apa saja persiapan BPS? SUHARIYANTO: Sekarang, kami berkoordinasi erat dengan pemerintah daerah (pemda) karena mereka sedang membentuk Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) awal tahun ini. Kami sering berkoordinasi dengan
video conference, mereka cuma perlu datang ke kantor masing-masing. Pada saat tertentu juga kami ketemu di lapangan. Selain itu, kami juga bikinkan modul-modul statistik. Ada modul
basic, intermediate, advanced. Kami akan terus berkoordinasi, setidaknya setahun tiga kali. KONTAN: Untuk dana dan tenaga kerja bagaimana? SUHARIYANTO:Tidak ada tambahan bujet di tengah jalan, sesuai saja dengan awal. Tahun ini, anggaran kami Rp 4,8 triliun sedangkan tahun depan menjadi Rp 5,2 triliun. Sebagian besar bujet untuk pelatihan dan survei ke lapangan plus gaji karyawan. Untuk data pangan, kami terjun ke lapangan, ada sebanyak 217 titik sawah di seluruh Indonesia. Titik ini koordinatnya sudah dikunci. Sehingga, kalau kami tidak ke lapangan, maka tak bisa mendapatkan hasil yang akurat. Ini salah satu penerapan metode baru Kerangka Sampel Area (KSA). Dari KSA kami peroleh data pemetaan besar dari Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Untuk kemudian kami bikin kotak-kotak sawah. Lalu, kami ambil sampel dan koordinat dikunci. Petugas akan datang ke lapangan untuk mendapatkan gambar hasil terkini. Foto inilah yang kami olah bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sedemikian rupa menjadi data. Sawah-sawah ini kami kunjungi tiap bulan, antara tanggal 23 hingga 30. KONTAN: Mulai kapan BPS menerapkan KSA? SUHARIYANTO: Kami mulai menerapkan KSA sejak awal tahun ini. Tapi, persiapannya sejak tahun 2016. Di negara-negara lain sudah lebih dulu sebenarnya. Nah, di Indonesia, kami butuh waktu karena lahan luas sekali. Butuh waktu juga memastikan, apakah ini bisa cocok diterapkan di Indonesia. Ini juga selaras dengan permintaan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar kita memperbaiki data pangan. Maka, dibentuklah kerjasama lima lembaga, yakni BPS, Lapan, BIG, BPPT, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Langkah pertama adalah Lapan, BIG, dan Kementerian ATR harus menyediakan potret udara luas lahan baku sawah kita. Angka itu digunakan BPS untuk sampel. Sebelumnya, kami lakukan pilot project di daerah Garut dan Indramayu. Ternyata, ketika tanahnya bergunung, pas dipotret masih bermasalah. Lalu, metode terus disempurnakan. Dengan metode ini, kami bisa dapat data bulanan juga prediksi tiga bulan ke depan. KONTAN: Berapa dana yang disiapkan untuk KSA? SUHARIYANTO: Tahun ini disediakan Rp 64 miliar dari APBN, sebagian besar untuk operasional bulanan sampling data. Tahun depan juga tidak banyak berubah, besaran dananya masih sekitar itu. Tapi, kami tetap terus berdiskusi, apakah perlu diperbaiki atau tidak metode tersebut. KONTAN: Tantangan apa lagi di lapangan sewaktu menerapkan metode KSA? SUHARIYANTO: Pertama, jelas terkait geografis. Metode yang bisa diterapkan di Jawa belum tentu sukses di Kalimantan. Kedua, kendala teknis di lapangan, SDM kami harus masuk ke lapangan. Untuk menemukan titik koordinat pada awalnya sulit, namun setelah ketemu jadi mudah. Titik koordinat juga akan diubah dalam periode dua atau tiga tahun sekali. Ketiga, ke depan akan dibutuhkan update server di BPS yang mampu menampung banyak data. Kalau untuk sekarang server masih cukup. KONTAN: Apakah BPS tetap melibatkan Kementerian Pertanian dan petani dalam pengumpulan data? SUHARIYANTO: Pastinya. Kementerian Pertanian (Kemtan) membantu kami mengumpulkan data, sedangkan kerja sama dengan petani dalam hal mengizinkan lahan sawahnya dijadikan sampling. KONTAN: BPS optimistis bisa menyajikan data pangan tunggal yang valid? SUHARIYANTO: Pokoknya, kami optimistis kalau berbuat untuk negara dan bangsa. KONTAN: Kalau data BPS tetap tidak diterima semua kementerian dan lembaga pemerintah bagaimana? SUHARIYANTO: Ini, kan, perintah Presiden, kenapa masih tidak mau menggunakan? Harusnya semua sama. KONTAN: Kemtan sendiri, katanya, masih optimistis dengan rencana awal tanpa mengindahkan data BPS? SUHARIYANTO: Ya, itu terserah. Intinya, saya tidak memaksakan. Kami dengan Bank Indonesia (BI), misalnya. Walaupun mereka memiliki prediksi inflasi mingguan, ketika kami sudah rilis data, maka BI ikut kami. Metodologi kami sama, kok, dan sering duduk bareng membicarakan. Dengan Kemtan dari dulu memang kami kerjasama. Namun sejak 2015, kami membentuk tim lima lembaga. Kemtan memang tidak masuk, tapi kalau mereka mau duduk bersama, tentu kami sambut. KONTAN: Apakah BPS optimistis juga, satu data pangan nakal mampu mengakhiri polemik data pangan? SUHARIYANTO: Tentu saja. Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) juga sudah sepakat menggunakan data ini. Apalagi, selama ini kami ada yang mengawasi saat merilis data.
Pertama, Forum Masyarakat Statistik yang berisi 25 profesor. Kami jelaskan apa adanya.
Kedua, ada lembaga internasional mengecek kami setiap enam bulan sekali, yakni International Monetary Fund (IMF). Dari hasil itu, mereka mengeluarkan pernyataan dan beberapa tahun ini mereka mengakui data pertumbuhan ekonomi dari BPS berkualitas. Kebijakan yang baik berawal dari penyediaan data yang akurat. ◆ Biodata
Riwayat pendidikan: ■ Sarjana Ilmu Statistik Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS), Jakarta ■ Magister Aplikasi Statistik University of Guelph, Kanada ■ Doktor Ekonomi Pertanian University of Reading, Inggris Riwayat pekerjaan: ■ Kepala SubBagian Perkebunan Direktorat Pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) ■ Kepala SubDirektorat Tanaman Pangan BPS ■ Kepala SubDirektorat Analisis Statistik BPS ■ Direktur Analisis dan Pengembangan Statistik BPS ■ Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS ■ Sekretaris Forum Masyarakat Statistik (FMS) ■ Anggota Tim Penjaminan Kualitas Untuk Reformasi Birokrasi Nasional Bentukan Wakil Presiden ■ Ketua Komite Statistik Kawasan Asia Pasifik ■ Kepala BPS.
** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di rubrik Dialog Tabloid KONTAN edisi 26 November- 2 Desember 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Data Tunggal Pangan Jadi Prioritas" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga