KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, masyarakat Indonesia tidak perlu panik menyikapi informasi mengenai kondisi paparan sinar ultraviolet (UV) harian. Menurut dia, masyarakat dapat segera merespons kondisi tersebut dengan langkah-langkah yang tepat. "Tidak perlu panik, masyarakat agar mengikuti dan melaksanakan imbauan respons bersesuaian yang dapat dilakukan untuk masing-masing kategori indeks UV," ujar Dwikorita dilansir dari siaran pers BMKG, Selasa (25/4/2023).
"Seperti menggunakan perangkat pelindung atau tabir surya apabila melakukan aktivitas di luar ruangan," kata dia.
Baca Juga: 3 Hari Suhu Maksimal 37 Derajat, Malaysia Dilanda Gelombang Panas Dwikorita menyampaikan, besar kecilnya radiasi UV yang mencapai permukaan bumi memiliki indikator nilai indeks UV. Indeks ini dibagi menjadi beberapa kategori, yakni 0-2 (low), 3-5 (moderate), 6-7 (high), 8-10 (very high), dan 11 ke atas (extreme). Secara umum, pola harian indeks ultraviolet berada pada kategori “low” di pagi hari, mencapai puncaknya di kategori “high”, “very high”, sampai dengan “extreme” ketika intensitas radiasi matahari paling tinggi di siang hari antara pukul 12:00 s.d. 15:00 waktu setempat. "Dan bergerak turun kembali ke kategori “low” di sore hari. Pola ini bergantung pada lokasi geografis dan elevasi suatu tempat, posisi matahari, jenis permukaan, dan tutupan awan," ujar Dwikorita. Dia menegaskan, tinggi rendahnya indeks UV tidak memberikan pengaruh langsung pada kondisi suhu udara di suatu wilayah. Untuk wilayah tropis seperti Indonesia, pola harian seperti disampaikan di atas secara rutin dapat teramati dari hari ke hari meskipun tidak ada fenomena gelombang panas. "Faktor cuaca lainnya seperti berkurangnya tutupan awan dan kelembapan udara dapat memberikan kontribusi lebih terhadap nilai indeks UV," kata dia. "Lalu untuk lokasi dengan kondisi umum cuacanya diprakirakan cerah-berawan pada pagi sampai dengan siang hari dapat berpotensi menyebabkan indeks UV pada kategori very high dan extreme di siang hari," papar dia. Dwikorita juga menyampaikan bahwa fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia belakangan ini tidak masuk dalam kategori gelombang panas. Hal tersebut merujuk kepada karakteristik fenomena maupun karakteristik pengamatan suhu. "Fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia belakangan, jika ditinjau secara lebih mendalam secara karakteristik fenomena maupun secara indikator statistik pengamatan suhu, tidak termasuk kedalam kategori gelombang panas, karena tidak memenuhi kondisi-kondisi tersebut," ujar Dwikorita. Menurut dia, secara karakteristik fenomena, suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia merupakan fenomena akibat dari adanya gerak semu matahari yang merupakan suatu siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun.
Baca Juga: BMKG Beberkan Penyebab Suhu Panas di Indonesia, Ada 5 Suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya. Sementara itu, secara indikator statistik suhu kejadian, lonjakan suhu maksimum yang mencapai 37,2 derajat celcius melalui pengamatan stasiun BMKG di Ciputat pada pekan lalu hanya terjadi satu hari, tepatnya pada tanggal 17 April 2023.
"Suhu tinggi tersebut sudah turun dan kini suhu maksimum teramati berada dalam kisaran 34 hingga 36 derajat celcius di beberapa lokasi. Variasi suhu maksimum 34 derajat- 36 derajat celcius untuk wilayah Indonesia masih dalam kisaran normal klimatologi dibandingkan tahun- tahun sebelumnya," kata Dwikorita. "Secara klimatologis, dalam hal ini untuk Jakarta, bulan April-Mei-Juni adalah bulan-bulan di mana suhu maksimum mencapai puncaknya, selain Oktober-November," kata dia. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
"BMKG: Tak Perlu Panik Hadapi Paparan UV, Pakai Pelindung atau Tabir Surya" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .