Sukses berawal dari lembaran kain batik kuno (1)



Banyak sarjana yang baru lulus perguruan tinggi  harus berkutat dengan urusan mencari pekerjaan. Tidak demikian halnya dengan Dea Valensia Budiarto.

Kendati baru lulus dari Universitas Multimedia Nusantara di Tangerang, Banten, Dea tak perlu sibuk mengirim lamaran pekerjaan ke perusahan-perusahaan seperti lulusan papa umumnya. Soalnya, di usianya yang belum genap 20 tahun, ia sudah sukses mengelola bisnis fesyen batik beromzet Rp 300 juta per bulan.

Berawal dari kecintaannya pada batik dan kegemarannya mengoleksi batik antik, Dea merintis usaha fesyen batik di Semarang pada tahun 2011. "Awalnya saya suka mengoleksi batik kuno, dari situ muncul ide untuk jualan baju batik," tutur Dea.


Kala itu, ia bilang, ia masih berusia 16 tahun dan sudah duduk di bangku kuliah semester tiga. Gadis kelahiran 14 Februari 1994 ini mengawali usahanya  dengan bermodalkan koleksi kan batik kuno milik ibunya yang sudah mulai rusak.

Dari tangan terampilnya, lembaran kain batik kuno itu menghasilkan 20 potong baju dan dress. Kendati tidak memiliki latar belakang pendidikan fesyen dan tidak memiliki keahlian menggambar, Dea mampu menghasilkan model yang sangat bagus dan disukai banyak orang.

Ia memasarkan produksinya lewat Facebook dan dibanderol dengan harga Rp 250.000 -Rp 1,5 juta per potong. Sampai saat ini, pemasaran produknya masih terbatas pada Facebook, Instagram dan pameran-pameran.

Kendati demikian, hampir semua hasil produksinya terjual habis. "Hampir semua produksi laku setiap bulannya, jadi stok barang saya hanya sedikit," ujarnya. Dea mengaku tak banyak modal yang ia keluarkan untuk memulai usahanya.

Ia menyebut, modalnya hanya ide, satu mesin jahit dan dua orang pegawai. "Saya enggak bisa gambar. desainnya ada dalam imajinasi saya. Apa yang ada di otak saya transfer ke pegawai saya untuk dijadikan gambar," terang Dea.

Kini, Dea mampu memproduksi 800 potong batik setiap bulannya dengan model-model yang sangat modern dan cocok digunakan anak muda. Meski awalnya menggunakan bahan baku kain batik kuno yang telah rusak, kini ia juga mulai memakai kain tenun dan batik baru.

Rinciannya, 30% bahan kain batik kuno, 40% kain tenun dan sisanya batik baru. "Saya dapat batik baru dari para perajin batik tulis di Pekalongan dan Solo," jelasnya.

Selain di dalam negeri, ia juga telah mengekspor produknya hingga ke luar negeri, seperti Jepang, Singapura, Australia, Belanda dan beberapa negara lainnya. "Sekitar 15% konsumen saya dari luar negeri," ujarnya.        (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri