Suku bunga acuan BI diperkirakan tetap 7,75%



JAKARTA. Bank Indonesia (BI) diprediksikan tetap mempertahankan suku bunga acuannya alias BI rate di level 7,75% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG), Kamis (15/1).  Kepala Ekonom BII Juniman berpendapat, belum ada alasan tepat bagi BI menaikkan suku bunga pada situasi ekonomi sekarang ini. 

Ada dua alasan mengapa bank sentral sebaiknya mempertahankan BI rate.  Pertama, soal inflasi. Pada Desember 2014, inflasi naik menjadi 8,36% karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Tapi, efek inflasi ini hanya sementara. Akhir 2015, Juniman memprediksikan, inflasi kembali normal ke level 5,01%.

Kedua, nilai tukar rupiah. Pergerakan rupiah akan terus ajrut-ajrutan hingga Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed memberikan kepastian kenaikan suku bunga. 


BI akan sulit mengamankan rupiah jika BI rate dinaikkan. Rupiah tetap tertekan walaupun pemerintah telah memperbaiki anggaran. "Saat bersamaan terjadi tren penguatan dollar. Jadi, rupiah sulit menguat tahun ini," kata Juniman, Selasa (13/1). Juniman memperkirakan, rata-rata rupiah hingga akhir tahun Rp 12.450 per dollar AS.

BI berpotensi menaikkan BI rate sebesar 25 bps pada triwulan IV 2015. Pada periode itu, The Fed diprediksi telah mengerek naik suku bunga. Imbasnya,  rupiah akan tertekan penguatan dollar, sehingga BI perlu mengatrol BI rate. 

Kepala Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) Agustinus Prasetyantoko menyatakan, BI rate akan tetap dipertahankan pada level 7,75%. Kendati rupiah terus bergejolak akhir-akhir ini, BI rate tidak perlu naik. Ini tentu dengan syarat, BI masih bisa mengendalikan rupiah.

Prasetyantoko juga memprediksi BI rate baru ada potensi naik pada triwulan III atau IV tahun ini. Besarannya akan tergantung dari seberapa besar kenaikan dan gejolak yang muncul. "Namun maksimum 8,5%," imbuh dia.

Posisi BI rate di level 7,75%, lanjut Prasetyantoko, masih sesuai untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke level yang diinginkan BI, yaitu 2,5%. Depresiasi rupiah yang terjadi saat ini harus dimanfaatkan untuk mendorong ekspor. Sehingga, ada perbaikan neraca dagang dan neraca transaksi berjalan secara keseluruhan.

Menurut Ekonom BCA David Sumual, tidak ada alasan BI mengubah BI rate. Sebab, konsentrasi pemerintah tahun ini masih berkutat pada neraca transaksi berjalan yang masih bermasalah. 

Meski penurunan harga minyak dunia membantu memperbaiki neraca transaksi berjalan, pemerintah justru akan menggenjot belanja modal yang sarat impor. "Ini bisa membuat transaksi berjalan bermasalah lagi," kata David.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa