JAKARTA. Kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang tidak begitu baik lantaran defisit transaksi berjalan yang cukup lebar membuat Bank Indonesia (BI) diprediksi masih akan memberlakukan kebijakan moneter ketat. Para ekonom memprediksikan BI masih akan menahan suku bunga acuannya (BI Rate) di level 7,5% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang akan digelar Kamis (12/6).Kepala Ekonom BII Juniman mengatakan, kondisi ekonomi makro Indonesia belum memungkinkan BI untuk mengubah suku bunga acuannya. Ia mencontohkan, di sisi internal kondisi inflasi belum mengkhawatirkan meski ada peluang kenaikan dalam dua bulan ke depan. Selain itu, ada defisit transaksi berjalan dan tekanan pada rupiah. Catatan saja, pada Juni 2014 inflasi bulanan sebesar 0,16% dengan inflasi tahunan 7,32%. Sedangkan defisit transaksi berjalan mencapai US$ 4,19 miliar di kuartal I-2014. Sementara itu, kondisi ekonomi global juga belum terlalu baik. Juniman bilang, penurunan suku bunga acuan oleh Bank Sentral Eropa, tingkat pengangguran di Amerika Serikat masih tinggi dan perlambatan di China perlu diwaspadai. "Dengan kondisi ini, tidak ada alasan bagi BI untuk menaikkan suku bunga acuan," jelasnya Selasa (10/6).Juniman memperkirakan, BI akan menahan suku bunga acuannya sampai akhir tahun ini. Bahkan, kata dia bisa jadi penahanan suku bunga acuan ini masih akan berlangsung hingga paruh pertama tahun 2015. Menurutnya, kenaikan BI rate baru akan terjadi di semester II-2015. Tapi Juniman belum bisa memperkirakan berapa peluang kenaikan BI rate pada pertengahan 2015.Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) A. Prasetyantoko juga sepakat BI akan menahan suku bunga acuannya di level 7,5% setidaknya hingga kuartal IV-2014. Menurutnya, BI baru berpeluang mengubah arah BI rate pada akhir kuartal IV-2014, dengan catatan kondisi defisit transaksi berjalan membaik atau ada tambahan likuiditas sebagai imbas membaiknya kondisi politik di domestik.Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa juga bilang, bila melihat arah inflasi yang masih sejalan dengan proyeksi tahun ini, ia memprediksi BI masih akan menahan suku bunga acuannya. "Kemungkinan BI akan menahan suku bunga acuannya sampai akhir tahun," jelasnya.Peluang di semester IIKepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti bilang, BI paling cepat baru akan menaikkan BI rate di akhir kuartal III-2014 bila defisit transaksi berjalan terus membesar. "Peluang kenaikannya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 7,75%," katanya.Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual bilang meski bulan ini BI rate belum perlu dinaikkan, tapi ada peluang BI rate bakal dinaikkan. "Bila defisit transaksi berjalan semakin melebar dan kondisi global tidak menguntungkan Indonesia, maka peluang kenaikan suku bunga acuan masih terbuka di kuartal III-2014," katanya. David bilang, peluang kenaikan BI rate di kuartal III-2014 maksimal 50 bps. Bahkan, bila benar-benar dilakukan, kemungkinan BI hanya akan menaikkan 25 bps menjadi 7,75%. Alasannya, bila kenaikan BI rate terlalu tinggi, maka pertumbuhan ekonomi akan semakin melambat.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Suku bunga acuan masih akan ditahan di 7,5%
JAKARTA. Kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang tidak begitu baik lantaran defisit transaksi berjalan yang cukup lebar membuat Bank Indonesia (BI) diprediksi masih akan memberlakukan kebijakan moneter ketat. Para ekonom memprediksikan BI masih akan menahan suku bunga acuannya (BI Rate) di level 7,5% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang akan digelar Kamis (12/6).Kepala Ekonom BII Juniman mengatakan, kondisi ekonomi makro Indonesia belum memungkinkan BI untuk mengubah suku bunga acuannya. Ia mencontohkan, di sisi internal kondisi inflasi belum mengkhawatirkan meski ada peluang kenaikan dalam dua bulan ke depan. Selain itu, ada defisit transaksi berjalan dan tekanan pada rupiah. Catatan saja, pada Juni 2014 inflasi bulanan sebesar 0,16% dengan inflasi tahunan 7,32%. Sedangkan defisit transaksi berjalan mencapai US$ 4,19 miliar di kuartal I-2014. Sementara itu, kondisi ekonomi global juga belum terlalu baik. Juniman bilang, penurunan suku bunga acuan oleh Bank Sentral Eropa, tingkat pengangguran di Amerika Serikat masih tinggi dan perlambatan di China perlu diwaspadai. "Dengan kondisi ini, tidak ada alasan bagi BI untuk menaikkan suku bunga acuan," jelasnya Selasa (10/6).Juniman memperkirakan, BI akan menahan suku bunga acuannya sampai akhir tahun ini. Bahkan, kata dia bisa jadi penahanan suku bunga acuan ini masih akan berlangsung hingga paruh pertama tahun 2015. Menurutnya, kenaikan BI rate baru akan terjadi di semester II-2015. Tapi Juniman belum bisa memperkirakan berapa peluang kenaikan BI rate pada pertengahan 2015.Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) A. Prasetyantoko juga sepakat BI akan menahan suku bunga acuannya di level 7,5% setidaknya hingga kuartal IV-2014. Menurutnya, BI baru berpeluang mengubah arah BI rate pada akhir kuartal IV-2014, dengan catatan kondisi defisit transaksi berjalan membaik atau ada tambahan likuiditas sebagai imbas membaiknya kondisi politik di domestik.Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa juga bilang, bila melihat arah inflasi yang masih sejalan dengan proyeksi tahun ini, ia memprediksi BI masih akan menahan suku bunga acuannya. "Kemungkinan BI akan menahan suku bunga acuannya sampai akhir tahun," jelasnya.Peluang di semester IIKepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti bilang, BI paling cepat baru akan menaikkan BI rate di akhir kuartal III-2014 bila defisit transaksi berjalan terus membesar. "Peluang kenaikannya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 7,75%," katanya.Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual bilang meski bulan ini BI rate belum perlu dinaikkan, tapi ada peluang BI rate bakal dinaikkan. "Bila defisit transaksi berjalan semakin melebar dan kondisi global tidak menguntungkan Indonesia, maka peluang kenaikan suku bunga acuan masih terbuka di kuartal III-2014," katanya. David bilang, peluang kenaikan BI rate di kuartal III-2014 maksimal 50 bps. Bahkan, bila benar-benar dilakukan, kemungkinan BI hanya akan menaikkan 25 bps menjadi 7,75%. Alasannya, bila kenaikan BI rate terlalu tinggi, maka pertumbuhan ekonomi akan semakin melambat.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News