KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Penurunan data inflasi Amerika Serikat (AS) memperkuat kembali indikasi kenaikan suku bunga acuan Federal Reserve telah berakhir. Sentimen ini cukup mengubah perkembangan di pasar mata uang. Indeks dolar Amerika Serikat (DXY) turun bertahan di tingkat 104 karena pasar kini tidak melihat lagi kemungkinan The Fed bakal mengerek suku bunga. Hal itu tidak terlepas dari rilis data inflasi AS kemarin malam yang menunjukkan perlambatan, sehingga memudarkan nada
hawkish Federal Reserve. Laporan CPI menunjukkan bahwa tingkat inflasi AS melambat lebih dari yang diharapkan menjadi 3,2% pada bulan Oktober dari 3,7% pada bulan September. Sementara tingkat inflasi inti AS turun menjadi 4% yang merupakan tingkat terendah dalam lebih dari dua tahun.
Pengamat Mata Uang Lukman Leong mengatakan, saat ini memang hampir dapat dipastikan sudah tidak ada kenaikan suku bunga The Fed. Seperti diketahui, bank sentral AS tersebut sebelumnya terus mengisyaratkan perlunya kenaikan suku bunga satu kali lagi untuk menekan inflasi.
Baca Juga: Berotot, Rupiah Jisdor Menguat 1,25% ke Rp 15.503 Per Dolar AS Pada Rabu (15/11) Alhasil, ekspektasi The Fed sudah usai bermain dengan suku bunga telah melemahkan posisi dolar AS. Di sisi lain, sejumlah mata uang merespons positif perkembangan ekonomi dari mata uang negara Paman Sam tersebut. Lukman bilang, mata uang dari negara-negara dengan tingkat inflasi stabil dan rendah seperti rupiah (IDR), ringgit (MYR), baht (BHT) serta yuan (CNY) telah diuntungkan situasi melemahnya dolar AS. Hal itu bisa terlihat antara lain dari penguatan rupiah lebih dari 1% menuju Rp 15.534 per dolar AS dan ringgit naik sekitar 1,10% pada perdagangan Rabu (15/11). Mata uang rival dolar AS seperti Euro (EUR) dan Poundsterling (GBP) pun sebenarnya diuntungkan situasi lesunya USD. Namun, penguatan mata uang rival dolar dianggap tidak akan berkelanjutan karena penurunan inflasi menghapuskan prospek naiknya suku bunga.
Baca Juga: Perkasa, Rupiah Spot Ditutup Menguat 1% ke Rp 15.534 Per Dolar AS Hari Ini (15/11) Mengutip tradingeconomics pada Selasa (15/11) pukul 16.05 WIB, pasangan mata uang atau
pairing EUR/USD diperdagangkan pada level US$ 1,08623 dan GBP/USD di posisi US$ 1,24613. Poundsterling telah turun dari level tertinggi dua bulan di US$ 1,205 pada Selasa (14/11) karena data inflasi Inggris turun dari perkiraan pada Oktober 2023 yang dirilis Rabu (15/1). Berdasarkan laporan CPI terbaru, inflasi Inggris turun menjadi 4,6% pada Oktober 2023 dibandingkan 6,7% pada September dan Agustus lalu. Angka inflasi ini menandakan tingkat terendah sejak Oktober 2021 dan sedikit di bawah ekspektasi pasar sebesar 4,8%. “Saya melihat tingkat inflasi juga akan ikut turun di Eropa, sehingga prospek suku bunga ECB dan BoE juga akan ikut turun,” jelas Lukman kepada Kontan.co.id, Rabu (15/11).
Baca Juga: Utang Luar Negeri Indonesia pada Kuartal III-2023 Turun Jadi US$ 393,7 Miliar Lukman berujar, pelaku pasar perlu memperhitungkan berapa lama suku bunga The Fed bakal ditahan, sebelum akhirnya diturunkan. Pasalnya The Fed dinilai tidak akan bersikap
dovish, tetapi hanya sedikit
less hawkish karena Amerika tentunya juga mengantisipasi pelemahan dolar AS bakal berdampak terhadap mahalnya harga impor dan malah mendorong kembali inflasi. Data-data ekonomi AS lainnya perlu dicermati seperti data tenaga kerja, upah, inflasi PCE pertumbuhan PDB, penjualan ritel, inflasi produsen hingga pidato pejabat The Fed untuk mengukur seberapa kuat dolar AS. Menurut Lukman, sentimen
risk-off masih akan terus mendukung posisi dolar AS di tengah perekonomian dunia yang masih lemah di tahun ini dan adanya ketidakpastian geopolitik yang tengah berlangsung. Dia memperkirakan dolar EUR/USD akan berada di kisaran level US$ 1,05–US$ 1,06, sedangkan GBP/USD di kisaran US$ 1,20-US$ 1,22 pada akhir tahun 2023 ini. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati