Suku bunga kredit berpotensi naik tahun ini



Jakarta. Masyarakat Indonesia yang hingga kini belum mampu membeli rumah sendiri boleh saja iri terhadap warga negara China. Sebab, bank sentral China, The People’s Bank of China, baru saja menelurkan kebijakan penurun-an pembayaran uang muka dan suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR).

Akhir bulan lalu, The People’s Bank of China bersama China Banking Regulatory Commission secara resmi mengumumkan penurunan batas bawah suku bunga KPR rumah pertama menjadi 30% di bawah suku bunga acuan yang berada di level 6,55%.

Sebelumnya, batas bawah suku bunga KPR rumah pertama sebesar 5%–10% di bawah suku bunga acuan. Selain itu, bank sentral China memberi kemudahan pengajuan rumah kedua. Selain bisa menikmati bunga KPR sebesar 70% di bawah suku bunga acuan, pembeli rumah kedua boleh membayar uang muka alias down payment (DP) KPR 30% dari ketentuan sebelumnya yang mewajibkan DP 60%.


Relaksasi aturan ini disebabkan oleh pertumbuhan pasar properti di China yang merosot sehingga membebani pertumbuhan ekonomi. Penjualan rumah di China tahun ini anjlok 11% setelah tahun lalu tumbuh 27%. Harga rumah di 68 kota dari 70 kota di China turun.

Tentu, sulit berharap kemudahan serupa berlaku di Indonesia. Apalagi, sejak dua tahun lalu, Bank Indonesia (BI) justru memperketat penyaluran KPR dengan merilis ketentuan rasio kredit terhadap nilai agunan alias loan to value (LTV) yang mewajibkan pembayaran DP minimal sebesar 30%. Setahun berikutnya, BI memberlakukan DP lebih besar bagi KPR rumah kedua dan seterusnya. Bahkan, BI melarang penyaluran KPR untuk rumah kedua dan seterusnya yang dibeli secara inden (belum selesai dibangun).

Suku bunga murah KPR saat ini juga masih sulit terwujud. Sejak BI mengerek suku bunga acuan alias BI rate medio tahun lalu, likuiditas perbankan semakin ketat. Demi memperebutkan dana nasabah, bank berlomba mengerek suku bunga simpanan. Imbasnya, suku bunga kredit termasuk suku bunga KPR ikut bergerak naik.

Mengutip data statistik perbankan yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rata-rata suku bunga KPR pada Juli 2013 baru di level 10,28%. Rata-rata suku bunga KPR terus meningkat hingga mencapai 10,82% per Juli tahun ini.

Ke depan, boleh jadi suku bunga kredit akan menurun setelah beberapa bank menurunkan suku bunga deposito dan bunga KPR. Apalagi, OJK sudah menetapkan batas atas suku bunga dana perbankan yang mulai berlaku awal bulan ini.

OJK menetapkan, bank hanya boleh memberikan bunga simpanan maksimal sebesar bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di level 7,75% untuk nominal simpanan hingga Rp 2 miliar. Untuk simpanan di atas Rp 2 miliar, bank yang tergolong bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) IV dan BUKU III hanya boleh memberikan bunga simpanan maksimal masing-masing sebesar 200 basis points (bps) dan 225 bps di atas BI rate.

Susah turun

Mengutip keterangan resmi OJK, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengatakan, bank harus mengupayakan penurun-an suku bunga kredit. Komitmen penurunan suku bunga kredit juga harus masuk dalam rencana bisnis bank (RBB) pada tahun 2015.

Irwan Lubis, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan OJK, menambahkan, penurunan bunga tinggi untuk produk deposito akan membikin biaya dana alias cost of fund turun. Dengan begitu, suku bunga kredit juga akan ikut turun. “OJK akan mengawasi komitmen bank untuk menyesuaikan suku bunga kredit setelah penurunan bunga simpanan,” kata Irwan.

Lani Darmawan, Direktur Ritel dan Konsumer BII, menilai, aturan OJK akan membuat perang bunga deposito tak lagi berlangsung. Namun, ia mengingatkan, bunga kredit bisa turun jika semua bank mematuhi aturan OJK. Lani memperkirakan, jika semua bank konsisten menerapkan aturan, biaya dana bank akan turun pada akhir November nanti.

Bisa jadi, semua bank akan patuh pada aturan OJK. Namun, tak mudah bagi bank untuk menurunkan suku bunga kredit meski sudah menurunkan suku bunga deposito. Sebab, sejak BI mengerek BI rate pertengahan tahun lalu, biaya dana perbankan naik sebesar 350 bps. Sementara, bunga kredit cuma naik 175 bps. Dengan begitu, jika biaya dana menurun nantinya, bunga kredit belum tentu ikut turun. “Karena bunga kredit memang sudah rendah,” kata Doddy Ariefianto, Kepala Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan LPS, Bagi Doddy, pembatasan bunga deposito hanya bak obat penenang agar perang bunga tidak berlangsung lebih parah. Suku bunga murah masih sulit terwujud lantaran likuiditas di perbankan masih tergolong ketat. Sehingga, suku bunga perbankan akan tetap tinggi.

Masalah lainnya, situasi makro ekonomi tidak cukup mendukung penurunan bunga kredit. David Sumual, pengamat ekonomi, mengatakan, kinerja ekspor Indonesia masih lambat sehingga defisit transaksi berjalan tetap besar. Di sisi lain, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi malah akan membuat inflasi membumbung. Padahal, Indonesia juga menghadapi ancaman kenaikan suku bunga The Fed.

Dengan berbagai persoalan domestik maupun eksternal itu, David memperkirakan, BI masih akan tetap mempertahankan kebijakan moneter ketat. Alih-alih turun, BI rate berpotensi naik lebih tinggi.

Doddy menimpali, selama pemerintah belum memperbaiki struktur ekonomi, BI akan memilih mempertahankan BI rate di level tinggi atau malah mengerek naik. “Dampaknya, suku bunga dana dan bunga kredit pasti ikut naik,” katanya.

Kalau bunga kredit sulit turun, tampaknya kita perlu belajar hingga ke negeri China.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 2 - XIX, 2014 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Imanuel Alexander