KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Federal Reserve menaikkan suku bunga Fed Funds Rate sebesar 25 basis poin menjadi 0,25%-0,5%. Kenaikan suku bunga masih akan berlanjut sehingga Bank Indonesia (BI) juga diperkirakan akan meningkatkan suku bunga acuan. Analis Investindo Nusantara Sekuritas, Pandhu Dewantoro menilai hal itu akan memberikan sentimen negatif untuk emiten-emiten yang memiliki rasio utang terhadap ekuitas atawa
debt to equity ratio (DER) yang tinggi. "Kenaikan suku bunga juga berpotensi meningkatkan
cost of fund," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (21/3). Melansir RTI, beberapa emiten memiliki DER yang cukup tinggi, antara lain
BBTN sebesar 16,37 kali;
WSKT 11,57 kali;
BJBR 11,14 kali;
DAYA 8,58 kali,
HERO 6,18 kali, dan
ADHI 6,11 kali.
Baca Juga:
Pendapatan 2021 Naik 15,99%, Tower Bersama (TBIG) Catat 7.633 Tambahan Penyewaan Pandhu menilai, DER tinggi bisa disebabkan oleh beberapa hal, yang utama tentunya kebutuhan dana mendesak sehingga diperlukan utang dengan nilai yang relatif besar. Misalnya, digunakan untuk mendanai proyek baru atau pembangunan pabrik, akuisisi perusahaan lain, dan lain sebagainya. Kemudian kinerja keuangan yang merugi juga dapat menggerus laba ditahan, sehingga nilai ekuitas turun. "Hal ini juga dapat membuat rasio DER meningkat, seperti yang terjadi pada
WSKT,
HERO,
LPPF, dan
GIAA," sebutnya. Di samping itu, emiten yang memiliki utang dalam dolar yang besar seperti
ASRI dan
GJTL dinilainya tentu memiliki risiko yang lebih terhadap perubahan kurs. Sehingga perlu diwaspadai jika terjadi gejolak pada nilai tukar. Baca Juga:
Begini Cara Waskita Karya (WSKT) Turunkan Tingkat Utang Equity Analyst Kanaka Hita Solvera, William Wibowo menambahkan bahwa penguatan nilai tukar dolar membawa sentimen negatif terhadap emiten dengan utang dalam mata uang dolar. "Namun sentimen ini biasanya bersifat jangka pendek, untuk jangka panjangnya lebih ditentukan oleh performa perusahaan," kata dia. Pandhu melanjutkan, rasio utang yang tinggi akan menyebabkan beban bunga lebih besar dan gangguan arus kas ketika utang pokok jatuh tempo. Jika kas tak mencukupi, emiten perlu merestrukturisasi utang. Oleh sebab itu, Pandhu menyarankan investor yang akan masuk di emiten yang memiliki DER yang tinggi perlu mempertimbangkan faktor-faktor pertumbuhan kinerja. Dia mencontohkan, pendapatan naik dari operasional, bukan dari melepas anak usaha. Baca Juga:
Peroleh Perpanjangan PKPU Selama 60 Hari, Ini Permintaan Garuda (GIAA) ke Kreditur Menurut Pandhu, secara umum DER yang sehat jika berada di bawah 2 kali. Namun, tergantung karakter bisnis atau industrinya. Ia menjelaskan, untuk industri padat modal misalnya, emiten konstruksi tentu masih dimaklumi jika sampai mencapai 2-3 kali karena memang modal yang diperlukan untuk mendanai proyek-proyek pemerintah sangat besar.
"Perusahaan konstruksi BUMN juga lebih berani mengambil langkah agresif ini karena memperoleh dukungan dari pemerintah. Meski begitu, kebijakan ini belakangan menimbulkan masalah karena pembayaran yang tersendat menyebabkan gangguan
cashflow yang berat," paparnya. Sementara William menilai DER yang sehat pada umumnya adalah yang berada di bawah 3 kali. Nah, sementara jika spesifik pada sektor konstruksi ia menilai toleransi DER berada di 4 kali. Sementara, untuk perbankan berada di 5 kali hingga 6 kali. "Hal ini disebabkan oleh siklus bisnis sektor konstruksi dan perbankan yang pendapatan usahanya yang dibayar menggunakan termin, sehingga tidak sama dengan sektor-sektor lain," imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati