Suku Bunga Naik, Analis Jagokan Emiten Properti yang Bisnisnya Terdiversifikasi



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kondisi suku bunga tinggi bakal berefek bagi penundaan pembelian properti. Sehingga, emiten properti dengan portofolio bisnis terdiversifikasi lebih disukai di tengah bunga kredit tinggi yang membebani pembelian rumah ataupun apartemen.

Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga menjadi 6,25% pada pertemuan bulan April 2024. Selain itu, suku bunga Deposit Facility naik sebesar 25 bps menjadi 5,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 7,00%.

BI menyebut kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak memburuknya risiko global, serta sebagai langkah antisipasi untuk menjaga inflasi. Alhasil, bunga kredit pemilikan rumah (KPR) diperkirakan juga bakal meningkat dalam beberapa bulan ke depan.


Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Vicky Rosalinda menilai, suku bunga tinggi merupakan kondisi yang kurang baik bagi emiten properti, bahkan dapat membebani kinerja. Hal itu karena kondisi suku bunga tinggi bisa dapat menekan keinginan masyarakat membeli hunian baru.

Suku bunga tinggi akan berdampak bagi bunga KPR menjadi lebih besar, sehingga masyarakat akan menunda beli rumah. Selain itu, faktor suku bunga tinggi juga bisa memperlemah rupiah yang akhirnya berefek negatif bagi emiten properti yang memiliki utang dolar AS.

“Kebijakan moneter yang ketat memang berpotensi menghambat bisnis emiten properti,” jelas Vicky kepada Kontan.co.id, Jumat (26/4).

Baca Juga: BI Rate Naik, Cermati Rekomendasi Saham SMRA, CTRA, PWON, BKSL

Vicky bilang, emiten properti dengan fokus bisnis rumah tapak ataupun juga apartemen akan terpukul saat kondisi suku bunga tinggi. Namun untuk emiten properti pusat perbelanjaan tidak begitu berpengaruh karena masyarakat tetap melakukan aktivitas belanja.

Kiwoom memperkirakan The Fed masih akan menahan kebijakan suku bunga tingginya karena inflasi belum kunjung turun sesuai target. Selain itu, kondisi perekonomian China dan Eropa masih menjadi perhatian. Serta, kembali panasnya tensi Iran dan Israel berpotensi dapat memperburuk kondisi ekonomi global.

Oleh karena itu, Vicky menyebutkan, tantangan bagi emiten properti adalah ketidakpastian ekonomi global dan domestik yang bisa bermuara pada peningkatan inflasi ataupun pelemahan rupiah. Penting juga memperhatikan tantangan internal emiten properti terkait seperti manajemen yang tidak efektif, lemahnya struktur modal, serta kurangnya inovasi.

Dia turut mengantisipasi tantangan untuk emiten properti karena adanya penurunan anggaran rumah subsidi FLPP di tahun 2024. Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) adalah dukungan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Sementara yang menjadi peluang emiten properti tahun ini yaitu insentif dari pemerintah mengenai PPN DTP yang diperpanjang hingga akhir 2024. Di samping itu, pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara bakal membuka jalan bagi emiten properti untuk catatkan pertumbuhan kinerja.

Analis Ciptadana Sekuritas Asia Yasmin Soulisa memaparkan, suku bunga acuan dan suku bunga hipotek yang rendah akan mendorong pembelian rumah karena skema pembiayaan KPR dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) masih menjadi pilihan konsumen dalam pembelian rumah primer di Indonesia.

Pada kuartal IV-2023, pembayaran KPR menyumbang 75,89% dari total pembiayaan, disusul dengan cicilan tunai dengan porsi 17,24% dan tunai sebesar 6,73%. Persentase pembayaran hipotek tersebut agak stabil di tengah kenaikan suku bunga pada tahun 2023, seiring tidak adanya kenaikan suku bunga KPR yang signifikan, meski BI sudah menaikkan suku bunga hingga 6,0%.

Adapun di sepanjang tahun 2023, total kredit KPR/KPA masing-masing tumbuh 10,6% yoy dan 5,6% yoy yang membawa pertumbuhan total pinjaman menjadi 9,7% yoy.

Baca Juga: Pakuwon Jati (PWON) Optimistis Kenaikan BI Rate Tak Menghambat Bisnis Hunian

Yasmin melihat, meskipun pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) lebih lambat pada tahun 2023 lalu, permintaan properti di Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan solid. Hal itu terlihat dari meningkatnya jumlah kredit yang diberikan untuk properti (termasuk ruko) yang dicatat oleh Bank Indonesia (BI).

Ciptadana Sekuritas mengamati KPR telah berada pada tren kenaikan yang kuat sejak pertengahan 2022, sehingga mencerminkan permintaan yang kuat terhadap rumah tapak. Dibandingkan dengan KPR, pertumbuhan total KPA yang beredar relatif stagnan pada tahun 2023 dan belum mencapai tingkat sebelum Covid-19.

“Kami percaya bahwa peningkatan permintaan perumahan, khususnya rumah tapak, akan terus melebihi perumahan bertingkat, dengan perumahan di luar Central Business District (CBD) menjadi jauh lebih menarik dibandingkan apartemen,” tutur Yasmin dalam riset 27 Februari 2024.

Walau demikian, kebutuhan rumah di Indonesia diperkirakan terus meningkat yang pada akhirnya bisa mendukung prospek emiten properti. Analis Sucor Sekuritas Niko Pandowo memperkirakan, kuatnya permintaan perumahan akan terus berlanju karena adanya lonjakan permintaan di wilayah perkotaan.

Niko menjelaskan, saat ini jumlah penduduk dan urbanisasi telah tumbuh masing-masing sebesar 1,15% dan 1,5% selama 22 tahun terakhir. Sehingga, menghasilkan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk atau disebut Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 2,64% dari pertumbuhan penduduk kota.

Dengan asumsi rata-rata empat orang per rumah, maka Indonesia menghadapi permintaan tambahan sebesar 1 juta unit rumah per tahun di wilayah perkotaan, di luar dari 12,7 juta backlog yang ada. Oleh karena itu kesenjangan antara kebutuhan rumah dan ketersediaan rumah bertambah, sehingga akan berdampak pada naiknya harga.

Pada akhirnya, lonjakan harga rumah ini telah menghasilkan penjualan pemasaran yang memecahkan rekor bagi pengembang properti seperti CTRA, SMRA, BSDE, dan BKSL. Emiten-emiten tersebut telah mengalami CAGR marketing sales sebesar 9,6% selama lima tahun terakhir.

“Kami memproyeksikan pertumbuhan ini (marketing sales) akan terus berlanjut pada tingkat 9% selama tiga tahun ke depan,” sebut Niko dalam riset 6 Maret 2024.

Niko mempertahankan pandangan positif terhadap CTRA karena pertumbuhan pendapatan dan penjualan pemasaran yang menjanjikan. Dengan portofolio yang terdiversifikasi yang mencakup berbagai wilayah geografis dan citra merek yang kuat, CTRA memiliki posisi yang baik untuk melakukan ekspansi.

BKSL juga dianggap telah menunjukkan bukti nyata perbaikan operasional dan keuangan, khususnya, pencapaian penjualan pemasaran sebesar Rp1 triliun pada tahun 2023, setelah delapan tahun tidak ada penjualan langsung. Selain itu, lokasi lahan BKSL di Bogor diperkirakan akan memperoleh manfaat signifikan dari pembangunan infrastruktur ekstensif termasuk jalan tol dan stasiun LRT.

Baca Juga: Kenaikan Suku Bunga Dikhawatirkan Tekan Kinerja Emiten Properti, Ini Kata Analis

Sucor Sekuritas juga menyukai PANI karena perusahaan ini menonjol sebagai pengembang properti dengan pertumbuhan tercepat, mengingat lokasi cadangan lahannya yang strategis dengan harga jual rata-rata (ASP) tinggi sebesar Rp 30 juta/m2.

Niko merekomendasikan buy saham CTRA, BKSL dan PANI dengan target harga masing-masing dipatok sebesar Rp 1.815 per saham, Rp 250 per saham, serta Rp 7.225 per saham.

Sementara, Yasmin menyukai pengembang properti yang menawarkan berbagai jenis properti hunian, seperti BSDE dan SMRA. PWON juga disukai karena pertumbuhan pendapatan berulang tahunannya yang solid.

Yasmin merekomendasikan buy saham BSDE dan SMRA dengan target harga masing-masing sebesar Rp 1.370 per saham dan Rp 940 per saham. Sementara saham PWON disarankan buy dengan target harga Rp 560 per saham.

Sementara, Vicky merekomendasikan trading buy saham CTRA dengan target harga sebesar Rp 1.210 per saham dan rekomendasi trading buy saham SMRA dengan target harga Rp 530 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat