KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank sentral ramai-ramai mengerek suku bunga acuan. Di Amerika Serikat (AS), pada bulan September ini The Fed menaikkan suku bunga 75 basis poin (bps). Di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga sebesar 50 bps. Pada perdagangan kemarin (22/9) pasar saham masih bisa merespons positif dengan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (
IHSG) sebesar 0,43%. Namun, pada Jum'at (23/9) ini, IHSG ditutup anjlok 0,56% ke level 7.178,58. Analis Kanaka Hita Solvera Raditya Krisna Pradana menyoroti, suku bunga tinggi bisa menjadi ancaman bagi pasar saham, lantaran berpotensi menimbulkan
outflow. Namun, perlu dicatat bahwa kenaikan suku bunga BI 50 bps merupakan tindakan preventif mengantisipasi efek domino dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Raditya menyampaikan, suku bunga tinggi ini akan berdampak negatif terhadap emiten teknologi serta emiten yang memiliki
Debt of Equity Ratio (DER) tinggi. Sebaliknya, kebijakan tersebut berdampak positif pada emiten perbankan karena masyarakat kembali melirik deposito.
Baca Juga: Sudah Naik Signifikan, Sejumlah Saham Grup Panin Ini Masih Bisa Lanjutkan Penguatan Menimbang kondisi makro ekonomi saat ini, Raditya juga memperkirakan emiten
consumer non-cyclicals berpeluang terpapar angin segar. "Inflasi yang terjadi menurunkan daya beli masyarakat, sehingga proyeksi kami, masyarakat akan terfokus untuk mencukupi kebutuhan primer terlebih dulu," kata Raditya kepada Kontan.co.id, Jum'at (23/9). Sementara itu, Analis NH Korindo Sekuritas Indonesia Cindy Alicia Ramadhania mengingatkan, tingginya inflasi dapat melemahkan daya beli masyarakat. Terlebih jika tidak diiringi dengan kenaikan pendapatan. Meski begitu, saham
consumer punya sentimen positif di tengah terkendalinya covid-19 serta pemulihan ekonomi yang relatif terjaga. Di sisi lain, prospek sektor kesehatan tergantung dari bagaimana para emiten mempertahankan kinerja setelah kasus covid-19 melandai. "Tantangan pada sektor
consumer dan kesehatan saat ini lebih terkait kepada kenaikan harga bahan baku dan daya beli konsumen," sebut Cindy.
Financial Expert Ajaib Sekuritas, Ratih Mustikoningsih punya catatan serupa. Kenaikan suku bunga dapat memberikan katalis negatif ke pasar saham. Alasannya, ada kecenderungan pelaku pasar akan beralih memegang aset yang lebih aman dan memiliki risiko lebih kecil seperti obligasi dan deposito di tengah naiknya
yield dan tingkat bunga deposito. Analisa Ratih, ada empat sektor yang relatif tahan banting di tengah tren suku bunga tinggi saat ini. Pertama, emiten di sektor barang konsumen primer. Menurut Ratih, sektor ini masih menarik, ditambah lagi dengan sentimen penurunan harga komoditas kelapa sawit (CPO).
Baca Juga: Gencar Tanamkan Investasi, Analis Rekomendasikan Akumulasi Beli Saham ASII "Hal itu menjadi katalis positif bagi emiten primer karena menekan COGS, margin profitabilitas akan meningkat," sebut Ratih. Kedua, sektor kesehatan, yang menurut Ratih masih layak untuk dijadikan sektor pilihan di tengah inflasi yang tinggi dan kenaikan suku bunga. Dengan kesadaran akan kesehatan yang semakin tinggi pasca pandemi, permintaan pada sektor kesehatan juga dapat meningkat. Dari sisi industrinya, grup bisnis besar seperti PT Astra International Tbk (
ASII) dan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (
EMTK) juga gencar menggelar ekspansi ke sektor kesehatan. Ketiga, sektor energi. Meski pelemahan ekonomi global mengintai, tapi permintaan komoditas ekspor unggulan Indonesia seperti batubara masing tinggi. Terutama efek perang Rusia - Ukraina yang menyebabkan
supply disruption pada komoditas energi, saat permintaan naik memasuki musim dingin di Eropa. Keempat, sektor telekomunikasi. Tren penggunaan data seluler semakin meningkat dan penetrasi internet di Indonesia masih potensial ke depan, didorong oleh ekonomi digital yang terus terakselerasi. Dari keempat sektor tahan banting itu, Ratih merekomendasikan lima saham yang bisa ditimbang sebagai pilihan investasi. Ratih menyodorkan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (
ICBP). Saham ICBP bisa dibeli menimbang harga Rp 8.750 - Rp 8.850. Target harga ada pada
resistance terdekat di level Rp 9.100. Pertimbangan
cut loss apabila
break support di level harga Rp 8.450.
Baca Juga: Industri Rokok Tertekan, Ini Rekomendasi Saham Gudang Garam (GGRM) Selanjutnya, PT Adaro Energy Indonesia Tbk (
ADRO) yang bisa dikoleksi dengan strategi
buy on weakness di area Rp 4.000 - Rp 4.040. Target harga pada
resistance terdekat di Rp 4.300 dan pertimbangan
cut loss di level Rp 3.900. Rekomendasi Ratih berikutnya adalah PT Harum Energy Tbk (
HRUM) dengan strategi
buy on breakout di area Rp 2.050 hingga Rp 2.060. Target harga pada
resistance di Rp 2.350 serta pertimbangan
cut loss jika
break support di Rp 1.850. Lalu, PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (
MIKA) yang dapat dikoleksi mempertimbangkan harga Rp 2.650 - Rp 2.670. Target harga pada
resistance Rp 2.900, dan pertimbangkan
cut loss apabila
break support di level Rp 2.600. Kemudian, Ratih menyarankan
buy on weakness saham PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (
TLKM). Target harga ada di
resistance Rp 4.520 serta pertimbangkan
cut loss apabila
break support di level Rp 4.200.
Sementara itu, Raditya merekomendasikan
buy untuk saham PT Unilever Indonesia Tbk (
UNVR), PT Mayora Indah Tbk (
MYOR), dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (
BBRI). Target harga masing-masing berada di area Rp 6.500, Rp 2.200, dan Rp 5.000.