Suku Bunga SRBI yang Tinggi Jadi Salah Satu Penyebab Likuiditas Perbankan Ketat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Permasalahan likuiditas di industri perbankan tak kunjung kelar. Kini, imbal hasil instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang masih tinggi dinilai menjadi salah satu penyebab likuiditas perbankan yang kian ketat.

Jika mengutip data Bank Indonesia (BI), lelang SRBI terakhir di 4 Oktober 2024 menawarkan imbal hasil 6,83% untuk tenor 12 bulan. Angka tersebut masih di atas bunga kala instrumen ini pertama dilelang pada September 2023 yang lalu di level 6,42%.

Memang, imbal hasil tersebut sudah menunjukkan tren penurunan dari beberapa bulan terakhir. Contohnya, lelang SRBI yang dilakukan pada Mei 2024 masih menghasilkan imbal hasil yang mencapai kisaran 7,5%.


Baca Juga: Suku Bunga Acuan BI Turun, Bank BTN Pertimbangkan untuk Menurunkan Bunga Deposito

Di sisi lain, imbal hasil yang tinggi membuat kepemilikan SRBI terus meningkat dan didominasi oleh perbankan. Per Agustus 2024, kepemilikan SRBI di perbankan sudah menyentuh Rp 534,8 triliun dari total Rp 920,77 triliun.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Edi Susianto mengatakan saat ini pihaknya terus mendorong peningkatan pasar sekunder SRBI. Tujuannya pengelolaan likuiditas perbankan bisa menggunakan instrumen SRBI melalui pasar sekunder. 

Dengan meningkatnya pasar sekunder tentunya akan berdampak pada penguatan pembentukan harga di pasar yg lebih efisien. Oleh karenanya, ia bilang sangat memungkinkan bahwa bunga SRBI bisa turun.

“Operasi moneter kami saat ini cenderung atau lebih bersifat ekspansif dalam mendukung ketersediaan likuiditas Rupiah di market,” ujarnya kepada KONTAN, Rabu (9/10).

Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Royke Tumilaar mengungkapkan bahwa pihaknya berharap bank sentral ini bisa menurunkan bunga SRBI. Bukan tanpa alasan, bunga SRBI yang tinggi ini telah membuat likuiditas di pasar saat ini banyak terserap oleh instrumen tersebut.

Memang, ia menyadari bahwa saat ini sudah mulai ada penurunan untuk bunga dari SRBI. Hanya saja, Royke menilai hal tersebut tak banyak berdampak likuiditas perbankan yang masih tergolong ketat.

“Harus lebih agresif penurunannya,” ujar Royke kepada KONTAN, Rabu (9/10).

Baca Juga: Kredit Perbankan Tetap Tumbuh, Apakah Sudah Berdampak Pada Perekonomian?

Direktur SME dan Retail Funding PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Muhammad Iqbal juga bilang imbal hasil SRBI saat ini masih cukup menarik dibandingkan imbal hasil instrumen lainnya seperti Surat Berharga Negara (SBN). Sehingga, ia melihat permintaan investasi ke SRBI masih cukup tinggi di Perbankan dan/atau Lembaga Keuangan lainnya. 

“Di hari-hari tertentu setelah hari lelang SRBI, membuat likuiditas di pasar cenderung mengetat,” ujar Iqbal.

Hanya saja, ia menilai imbal hasil SRBI saat ini sudah jauh turun dibandingkan pada awal-awal penerbitan SRBI. Ini seiring dengan penurunan suku bunga acuan dan perbaikan kondisi ekonomi global termasuk peningkatan likuiditas di pasar.

Ditambah, kebijakan Bank Indonesia yang antara lain membatasi kepemilikan SRBI hanya untuk Perbankan, Nasabah Asing, dan Lembaga Keuangan tertentu saja yang pada akhirnya membuat likuiditas di perbankan terjaga cukup baik.

EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA, Hera F. Haryn pun juga tak memungkiri bahwa BCA juga masih menempatkan dananya di instrumen SRBI. Hanya saja, instrumen tersebut tak mendominasi karena komposisi terbesar adalah penempatan dana pada obligasi pemerintah.

Per Agustus 2024, total dana yang ditempatkan BCA pada instrumen surat berharga mencapai Rp 397 triliun. Angka tersebut mengalami peningkatan dari periode sama tahun lalu yang senilai Rp 280,8 triliun.

“Penempatan dana pada instrumen surat berharga merupakan bagian dari strategi pengelolaan likuiditas perusahaan,” ujarnya.

Hanya saja, ia menegaskan saat ini likuiditas BCA berada pada posisi yang solid, berkat pendanaan BCA yang didukung dana giro dan tabungan (CASA). Per Agustus 2024, CASA berkontribusi 80% lebih dari total Dana Pihak Ketiga (DPK).

Ia juga bilang bahwa pada prinsipnya, fungsi utama dari lembaga perbankan adalah sebagai sarana intermediasi ekonomi dalam artian penyaluran kredit. Per Agustus 2024, penyaluran kredit BCA tumbuh sebesar 16% secara tahunan  menjadi Rp 843 triliun. 

“Pertumbuhan tersebut berada di atas rata-rata industri,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi