JAKARTA. Pekan lalu Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan alias BI rate sebesar 0,25% menjadi 7,5%. Meski begitu, pemerintah masih memandang posisi BI rate masih terlalu tinggi sehingga meski diturunkan lagi. Soalnya, BI rate sebesar 7,5% tetap menghambat pertumbuhan ekonomi. Dengan level 7,5%, BI rate masih menyebabkan bunga kredit perbankan tetap mahal. Bunga kredit yang mahal menghambat para pelaku usaha melakukan ekspansi. "Akhirnya investasi tertunda, ekonomi susah tumbuh cepat," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) kemarin. Inilah yang menjadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi), sehingga mengundang bankir bank pelat merah untuk duduk bersama di Istana Negara, Selasa (24/2).
Petinggi bank badan usaha milik negara (BUMN) yang hadir di antaranya Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Gatot Suwandono, dan Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Maryono. Rapat yang juga dihadiri Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil berlangsung tertutup. BI rate 7,5% memang tak sejalan dengan cita-cita Jokowi mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7% per tahun. Bahkan, jika bank sentral masih mempertahankan suku bunga di posisi tersebut, target pertumbuhan ekonomi tahun ini yang hanya sebesar 5,7% bakal sulit tercapai. Soalnya, saat era bunga mahal, aliran kredit perbankan pasti melambat. Pengusaha tak mau mencari pinjaman ke bank lantaran harus membayar bunga kredit yang tinggi. Catatan saja, BI rate sudah bertengger di posisi 7,5% sejak November 2013 lalu, dengan tiga bulan di antaranya yakni November dan Desember 2014 serta Januari 2015 berada di level 7,75%. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, penyaluran kredit perbankan melambat tahun lalu. Hingga akhir 2014, total penyaluran kredit sebesar Rp 3.706,5 triliun, hanya tumbuh 11,65% dari tahun 2013. Pada 2013, pertumbuhan penyaluran kredit perbankan mencapai 21,80%. Menurut JK, ekonomi yang tidak tumbuh tinggi akan berdampak negatif ke sektor lain. Pengangguran dan kemiskinan susah tertangani jika pertumbuhan ekonomi melambat. Dia menghitung, Indonesia membutuhkan dua juta lapangan kerja baru setiap tahun. Dan, itu hanya bisa tercapai jika ekonomi tumbuh 6% per tahun. Pasalnya, setiap 1% pertumbuhan ekonomi mampu menyerap angkatan kerja sekitar 300.000 orang. Terlalu tinggi Oleh karena itu, dalam rapat dengan bankir bank BUMN, Presiden mendorong perbankan milik pemerintah menurunkan bunga kreditnya. Meskipun BI rate hanya turun tipis, Jokowi berharap bank BUMN bisa menurunkan bunga kredit lebih tebal. Data OJK menunjukkan, bunga kredit modal kerja di bank umum pada akhir 2014 mencapai 12,81% untuk pinjaman rupiah, lebih tinggi dari tahun 2013 yang hanya 11,5%.
Bunga kredit investasi di 2014 juga lebih besar yakni 12,36% dari 2013 yang 11,28%. Menurut Sofyan, agar bunga kredit bank turun, BI harus kembali memangkas BI rate. "Bunga yang ada saat ini masih terlalu tinggi," ujarnya. Penurunan BI rate kemarin masih belum cukup mendukung program pemerintah. Ke depan, BI bisa menurunkan bunga acuan lagi. "Jika inflasi masih berpeluang lebih rendah lagi, ada ruang BI menyesuaikannya," kata Sofyan. Tapi, BNI belum menurunkan bunga kreditnya. Tingginya risiko menjadi alasan mereka belum berani menggunting bunga kredit. Disamping itu, bank-bank lain masih mempertahankan bunga kreditnya. BNI tak mungkin menurunkan bunga kredit mereka di saat bank lain masih mempertahankannnya. Hanya, Gatot meyakini ada peluang buat BNI menurunkan bunga kredit. "Yang jelas, kalau ditanya mungkinkah? Itu mungkin," ujar Gatot. Wah, bank BUMN yang jelas-jelas milik pemerintah saja belum berani menurunkan bunga kredit mereka, apalahi perbankan swasta, ya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie