Sulawesi, kawasan industri ideal di luar Jawa



JAKARTA. Kalau boleh memilih, kalangan industri masih menjatuhkan pilihan berinvestasi di pulau Jawa ketimbang luar Jawa yang minim infrastruktur. Namun keterbatasan lahan industri di Jawa membuat pengembang kawasan industri mulai melirik kawasan di luar Jawa.

Ketua Kehormatan Himpunan Kawasan Industri, Hendra Lesmana mengatakan salah satu kawasan di luar Jawa yang sudah siap secara infrastruktur adalah Sulawesi. Salah satunya adalah adanya pasokan listrik untuk industri. "Untuk industri manufaktur, Sulawesi cukup siap dibanding wilayah lain. Tinggal pemerintah memperkuat infrastruktur yang lain seperti akses jalan ke pelabuhan," katanya.

Adanya potensi inilah yang membuat pengembang kawasan industri tidak mau melewatkan potensi industri di luar Jawa. Apalagi, bisnis perkebunan dan pertambangan di luar Jawa cukup pesat.


Direktur PT Jababeka Hyanto Wihadi tidak memungkiri potensi investasi manufaktur di luar Jawa tersebut. Misalnya untuk industri baja atau hilirisasi minyak kelapa sawit yang memberikan peluang bagi pengelola kawasan industri untuk membuka kawasan industri di wilayah tersebut.

Jababeka sendiri, menurutnya, sedang menjajaki membuka tiga lokasi kawasan industri baru di luar Jawa. Satu kawasan industri bakal Jabababeka buka di satu pulau. "Kami sedang ekspansi di tiga tempat baru di luar jawa namun belum bisa disebutkan di mana. Kami memprioritaskan kawasan yang bisa menarik minat industri pendukung potensi di daerah tersebut seperti pertambangan atau perkebunan," ujar Hyanto.

Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur, Panggah Susanto mengatakan makin menipisnya lahan industri di Jawa, membuat pemerintah mendorong industri besar baru berlokasi di luar Jawa. Seperti industri petrokimia berada di Tangguh, Papua lantaran dekat dengan sumber bahan baku. Maklum, dari 25.000 hektare lahan industri, hanya 16.000 hektare yang bisa dijual. Sisanya masih kekurangan infrastruktur seperti listrik dan jalan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon