Sulit membuat BUMN pailit



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) lolos pailit setelah Pengadilan Niaga Surabaya mengesahkan perjanjian perdamaian dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dijalaninya.

Padahal, hasil pemungutan suara Merpati tak mencapai kuorum yang ditentukan dan seyogianya Merpati pailit.

"Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai Merpati merupakan salah satu BUMN yang bergerak untuk kepentingan publik. Sehingga, meskipun dalam voting tak kuorum, Majelis tetap mengesahkan perjanjian perdamaian," kata Pengurus PKPU Merpati Alfin Sulaiman kepada Kontan.co.id, Rabu (14/11).


Merpati sejatinya bukan satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang hampir pailit. Beberapa BUMN lainnya bahkan sempat menyandang status pailit, namun tak bertahan lama. Sebab status pailit pada akhirnya dibatalkan baik melalui Kasasi maupun Peninjauan Kembali.

Kontan.co.id mencatat setidaknya lima BUMN yang pernah menyandang status dalam kepailitan. Pertama adalah PT Hutama Karya (Persero). Perusahaan konstruksi plat merah ini sempat dinyatakan pailit pada 23 Desember 1998 oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Hutama Karya pailit dari permohonan yang diajukan oleh PT Jaya Readymix yang menagih utang senilai Rp 2.08 miliar, dan PT Primacoat yang punya tagihan senilai Rp 283 juta. Atas putusan tersebut Hutama Karya sempat mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, namun pada 23 Februari 1999 kasasi ditolak. Hutama Karya tetap berstatus pailit. Baru atas permohonan Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung membatalkan status pailit Hutama Karya pada 31 Maret 1999.

Kemudian ada PT Dirgantara Indonesia (Persero) yang disematkan status pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 4 September 2007 atas permohonan 43 pegawainya. Namun status pailit Dirgantara langsung dibatalkan Mahkamah Agung melalui putusan Kasasi pada 22 Oktober 2007 yang diajukan Dirgantara.

Selanjutnya ada PT Iglas (Persero). Kasus Iglas berbeda ketimbang pendahulunya. Mulanya permohonan pailit PT Intrachem Plasagro Jaya yang menagih Rp 102,3 miliar dan US$ 165.816 ditolak oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 30 Maret 2009. Namun atas kasasi yang diajukan Intrachem, Mahkamah Agung membatalkan putusan sebelumnya. Iglas dinyatakan pailit pada 30 Juli 2009. Nah status pailit baru lepas pada 21 April 2010, dari putusan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Iglas.

Hal serupa juga dialami oleh PT Istaka Karya (Persero). Mulanya permohonan pailit PT JAIC yang berupaya menagih US$ 7.645 ke Istaka ditolak Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 16 Desember 2010. Namun, JAIC berhasil bikin Istaka pailit melalui kasasi yang diputus pada 22 Maret 2011. Kembali, Mahkamah Agung membatalkan status pailit atas permohonan Peninjauan Kembali Istaka yang diputus pada 13 Desember 2011.

Dari seluruh tarik ulur status pailit bagi BUMN, semua putusan yang membatalkan status pailit mengandalkan pertimbangan bahwa para BUMN tersebut punya usaha untuk kepentingan publik. Padahal, jika menilik UU 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, status BUMN Persero sejatinya tak berbeda dengan perusahaan seqsta lainnya. Sehingga tak perlu ada keistimewaan dalam penanganan.

Konteks macam ini pun sejatinya bisa terjadi bagi PT Kertas Leces (Persero) yang kini tengah mengenakan status pailit. Jalan menuju pailit Leces agak berbeda dengan pendahulunya. Perkara Leces dimulai ketika, perusahaan kertas di Jawa Timur ini menjalani PKPU dan berakhir damai atawa homologasi pada 2015.

Namun, pada Marwt 2018, 15 pegawai Leces mengajukan pembatalan homologasi. Sebab, Leces dinilai tak mematuhi perjanjian perdamaian. 25 September 2018 Leces diputus pailit.

"Kita akan verifikasi lanjutan soal tagihan, karena masih ada selisih nilai tagihan antara debitur (Leces) dengan para kreditur. Debitur menilai tagihan masih mengacu pada proses PKPU terdahulu, sehingga nilai tak berubah," kara Kuratoe Kepailitan Leces Febry Arisandi saat dihubungi KONTAN, Kamis (15/11).

Sampai batas akhir pendaftaran tagihan, kata Febry setidaknya ada 35 kreditur konkuren (tanpa jaminan), 3 kreditur separatis (dengan jaminan), sementara kreditur preferen berasal dari dua tagihan Kantor Pajak, dan 2000 lebih para pekerja Leces. Sementara soal nilai tagihan, Febry masih enggan menyebutkannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi