KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banjir bandang yang disertai yang melanda tiga provinsi di Sumatera tidak sepenuhnya berasal dari cuaca ekstrem. Profesor Erma Yulihastin, peneliti utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan, energi dari Siklon Senyar hanya berkontribusi sekitar 20% terhadap kerusakan, sementara 80% lainnya dipicu oleh lingkungan. “Sisanya lebih banyak disebabkan oleh perubahan lingkungan,” ujar Erma dalam diskusi publik “Risiko Cuaca Ekstrem dan Solusi Ekstrem” yang digelar secara daring, Kamis (18/12/2025). Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban meninggal mencapai 1.059 orang meninggal, 192 orang masih hilang, dan 147 rumah rusak. Lokasi becana terjadi di wilayah Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat pada akhir November lalu. Jumlah korban ini lima kali lebih besar dari jumlah korban siklon Seroja di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terjadi pada 2021 lalu, meskipun keduanya sama-sama merupakan siklon tropis kategori 3.
Baca Juga: Purbaya Klaim Belanja K/L Sudah Mulai Akselerasi pada Akhir Tahun 2025 Menurut Erma, besarnya dampak bencana yang menghantam tiga provinsi itu merupakan dampak dari alih fungsi lahan dan tata ruang di Sumatera. Erma mengacu pada jurnal yang diterbitkan American Meteorological Society (Matsui, Lakshmi, Small, 2005) yang menyebutkan bahwa tutupan lahan di darat berpengaruh pada pergerakan badai di laut. “Ketika tutupan lahan masih terjaga, suhu yang dingin karena ada evaporasi, membuat pergerakan badai menjauh dari daratan,” katanya. Sebaliknya, ketika hutan ditebang, lahan menjadi terbuka dan panas, siklon yang terbentuk karena udara panas dari permukaan laut akan mendekat ke daratan. Erma memproyeksikan, Sumatera menjadi wilayah dengan kerentanan terhadap perubahan iklim tertinggi di Indonesia sampai dengan 20 tahun ke depan. “Berdasarkan 14 model proyeksi hingga 2040, wilayah terutama di Sumatera Utara dan Riau menjadi wilayah yang paling rentan terhadap hujan dan angin ekstrem, pada periode Desember hingga Januari. Untuk itu, kesiapsiagaan dan persiapan menghadapi bencana harus diperkuat,” katanya.
Baca Juga: Ditjen Pajak Sudah Kumpulkan Rp 13,44 Triliun dari Penunggak Pajak Kelas Kakap Farwiza Farhan, Direktur Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) sepakat dengan Erma. Dia mengatakan, Aceh terus kehilangan hutan dalam sepanjang satu dekade terakhir. Menurutnya, sebelum 2010 dan setelah tsunami, Aceh pernah mempunyai rencana tata ruang yang memetakan provinsi mencakup sensitivitas lahan hingga sebaran penduduk. “Dari pemetaan itu, disebutkan bahwa pembukaan lahan baru akan meningkatkan risiko bencana, karena daya dukung lingkungan sudah mencapai batas maksimal,” kata dia. Ia juga merujuk pada hasil penelitian Cut Azizah di IPB tahun 2020. Ia menyimpulkan, wilayah Aceh Tamiang sangat rentan karena kehilangan banyak Daerah Aliran Sungai (DAS). Penelitian itu mengungkapkan, kerusakan lingkungan akan berdampak pada banjir bandang di 70% desa di Aceh Tamiang, juga wilayah Aceh Timur dan Aceh Tenggara. “Ini sesuatu yang sudah diketahui sejak lama,” kata Farwiza.
Baca Juga: Musim Libur Nataru, 2,9 Juta Kendaraan Bakal Tinggalkan Jakarta Di Sumatera Utara, wilayah terdampak banjir yang terparah dikelilingi sejumlah industri yang ekstraktif dan eksploitatif. Peneliti Toba Initiative Delima Silalahi mengatakan, dalam situasi tersebut masyarakat kerap menjadi tumbal pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Delima mengaku kecewa dengan respons pemerintah yang lambat dalam penanganan bencana ini. Dengan tidak ditetapkan sebagai bencana nasional, dia mengatakan, sangat sulit terkoneksi antar satu daerah terdampak dengan lainnya. “Air bersih di Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan masih sulit. Banyak dari mereka yang mengungsi secara mandiri di bukit-bukit seperti di Angkola,” katanya. Selain kesulitan pendataan korban dan bantuan yang menumpuk, Delima mengatakan hujan dan banjir yang masih terjadi juga menghambat masuknya bantuan ke wilayah terdampak. “Saat ini solidaritas warga menjadi penopang di lapangan, di mana warga bantu warga agar bisa bertahan,” ujar Delima.
Baca Juga: KPK Koordinasi dengan Kejagung Usai Tangkap Jaksa dalam OTT di Banten Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital CELIOS meyatakan, ironi banjir Sumatera. Hasil penelitian CELIOS mengungkapkan, desa dengan sektor tambang mempunyai dampak pencemaran lingkungan dan bencana lebih besar. Pada 2018, satu dari dua desa yang bergantung pada sektor tambang akan berpotensi lebih besar terkena banjir dibandingkan desa yang tidak bergantung pada industri ekstraktif. Potensi banjir bagi desa yang tidak bergantung pada sektor tambang adalah satu banding empat. Risiko bencana semakin tinggi karena kebijakan anggaran pemerintah. Huda menjelaskan, alokasi anggaran penanggulangan bencana hanya sekitar 0,03% dari APBN. Menurutnya, anggaran kebencanaan yang dialokasikan menurun drastis dari tahun ke tahun. Untuk pemulihan provinsi yang terdampak bencana, Huda melihat akan sangat sulit dalam jangka waktu yang pendek. Dia melihat, dua dari tiga provinsi yakni Aceh dan Sumatera Barat masih sangat bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. “Yang saya khawatirkan adalah Aceh karena ketika ingin membangun kembali sangat bergantung dana transfer daerah. Apalagi tahun depan, dana transfer daerah dipotong,” katanya.
Anggaran pemulihan bencana sebesar Rp 51.82 triliun yang disebut pemerintah, kata Huda, belum mencakup pembangunan manusia. “Dengan politik anggaran seperti ini, butuh 30 tahun sendiri untuk memulihkan Aceh,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News