Sumiyati, pejuang tenun masyarakat miskin Lombok Tengah



Sebagai pensiunan pegawai negeri, Sumiyati tak diam. Dia turun ke masyarakat dan melakukan pembinaan demi meningkatkan taraf hidup masyarakat Praya Timur. Lewat kerajinan tenun, dia mengajak ibu-ibu buruh tani untuk membuat tenun enges. Hasil penjualan tenun tidak dibagikan, tapi untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Sumiyati, perempuan yang lahir 11 Juli, 57 tahun lalu itu begitu prihatin melihat kehidupan perempuan berpendidikan rendah di Desa Marong dan Semoyang, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah, NTB.Kemiskinan dan keterbelakangan yang dilihat di pelbagai desa di wilayah tersebut membuatnya tergugah. Oleh karena itu dia berjanji untuk membantu perempuan di desa-desa tersebut meraih kehidupan lebih baik. Setelah pensiun sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Dinas Pendidikan Lombok, Sumiyati kemudian membaktikan seluruh waktunya membantu masyarakat. "Saya ingin menjadi pensiunan yang berguna. Saya yakin perempuan-perempuan itu mampu berbuat sesuatu," katanya.Sumiyati melihat perempuan di Praya Timur memiliki ketrampilan lebih, yaitu menenun. Dari 10 desa yang ada di kecamatan itu, enam desa memiliki perempuan-perempuan yang pandai menenun. Melihat keunggulan itu, pada tahun 2010, dia membentuk komunitas tenun Enges Ethnic di Desa Marong. Melalui komunitas ini, Sumiyati mengajak dan membina masyarakat untuk membuat tenunan enges yang terkenal unik.Tenunan enges menggabungkan motif atau pola tradisional tenun NTB dan NTT. Tak hanya tenun, Sumiyati juga mengembangkan kemampuan masyarakat Praya Timur, seperti anyaman rotan, ukiran kayu dan batu, serta gerabah. Hanya saja sampai saat ini, Sumiyati mengaku masih fokus ke kerajinan tenun.Dia lalu mengajak istri buruh tani untuk memproduksi tenunan. Menurutnya, akan lebih menguntungkan jika mereka menenun di rumah daripada ikut suami jadi buruh. "Saya rangkul untuk membuat tenunan yang bagus," imbuhnya.Tak mudah bagi Sumiyati untuk menggandeng perempuan-perempuan desa itu. Ia mengaku terlebih dahulu harus melakukan pembinaan dan penyuluhan. "Akhirnya mereka tertarik untuk mengembangkan potensi diri," katanya.Selain melakukan pelatihan mengenai warna benang yang dipakai dalam kain tenun enges, ia juga mengajarkan ibu-ibu tadi membuat tenun dengan motif dan corak yang lebih diterima pasar. Sebab, menurutnya, jika hanya berdasarkan motif dan selera penenun, lambat laun akan tergerus jaman. Dari enam desa di Praya Timur, saat ini sebanyak 25 perempuan telah bergabung. Dari tangan perempuan - perempuan itulah, diproduksi pashmina songket, sarung songket serta kain songket. Tidak kurang dari 100 lembar pashmina songket diproduksi tiap bulan. Selain itu, sebanyak 50 helai sarung songket dan 50 helai tenun untuk bahan baju diproduksi per bulan. Tak hanya dipasarkan di Lombok, produk itu telah merambah Jakarta dan Batam. "Sebulan omzet bisa sampai Rp 10 juta. Itu cukup bagus, sebab modal kami hanya Rp 15 juta," tambahnya.Di Jakarta, Enges memiliki tiga gerai di Pasaraya Blok M, Sarinah, dan Blok M Square. Di tempat tersebut, produk tenun Enges Ethnic dijual dengan harga beragam. Untuk satu helai pashmina songket dihargai Rp 150.000, baju tenun Rp 150.000 sampai Rp 400.000, dan sarung songket Rp 200.000 sampai Rp 500.000.Dia berharap, tak hanya membawa kain tenun Enges Ethnic ke pasar domestik, tapi juga pasar internasional. Tak hanya itu, dia juga berusaha menjadikan 10 desa di Kecamatan Priya Timur sebagai sentra tenun di Lombok. Keinginan itu semakin menggelora, setelah mengetahui akan dibangunnya Bandara Internasional di Lombok Tengah. Tak mau berpangku tangan, Sumiyati kerap mengikuti pameran-pameran kerajinan dan budaya untuk membuka pasar.Lambat laun, komunitas yang dibentuk Sumiyati berhasil membantu perekonomian masyarakat yang dulu hanya bergantung pada penghasilan buruh tani. Apalagi dengan adanya komunitas ini, upah tenun perajin lain yang ada di wilayah Desa Marong juga meningkat.Dengan keberhasilan yang dicapai komunitas Enges Ethnic, saat ini perempuan di desa-desa sekitar sangat berminat masuk dan bergabung. Hanya saja, karena keterbatasan modal keanggotaan masih dibatasi. Jika dalu upah tenun dihargai murah oleh pengumpul, Sumiyati mau memberi dengan harga layak. Untuk satu lembar kain tenun yang dulu dihargai oleh pengepul Rp 20.000, dan Rp 30.000 untuk tenun songket, Sumiyati menaikkan upah tenunnya menjadi Rp 75.000, dan Rp 100.000 per lembar.Selain untuk meningkatkan taraf ekonomi perajin, dia juga tidak rela hasil tenunan Desa Marong dibawa ke Desa Sukerare yang memang lebih terkenal.Sumiyati mengaku, keuntungan penjualan yang didapat komunitas, sampai sekarang belum dibagikan ke anggota. Selain dikelola sebagai biaya operasional komunitas. Keuntungan yang didapatkan dikumpulkan untuk selanjutnya diwujudkan untuk dana sehat masyarakat. "Ini untuk membantu anggota, sebab biaya pengobatan mahal bagi masyarakat," katanya.Ke depan, ia bersama pengurus komunitas Enges Ethnic juga akan mendirikan program pendidikan anak usia dini (PAUD). Dengan dua program ini diharapkan, keuntungan penjualan tenun akan bisa menutupi dana kesehatan dan pendidikan, sehingga bisa gratis untuk masyarakat. "Semoga masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan berkurang," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi