JAKARTA. Saat pasar surat utang terkoreksi, manajer investasi ternyata menggemukkan porsi Surat Utang Negara (SUN) dalam racikan produk reksadana mereka. Ini terlihat dari data kenaikan SUN yang dipegang oleh reksadana. Per 11 September 2015, situs Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, akumulasi SUN di reksadana tercatat Rp 60,01 triliun atau naik 31,05% ketimbang akhir tahun 2014 sebesar Rp 45,79 triliun. Analis obligasi BNI Securities I Made Adi Saputra menilai, kenaikan tersebut akibat tertekannya pasar surat utang. Momentum turunnya harga SUN yang mendongkrak yield pun dimanfaatkan para manajer investasi untuk menambah kepemilikan. Rata-rata harga obligasi yang tercermin pada INDOBeX Composite Clean Price pada Selasa (15/9) sudah merosot 6,66% ketimbang posisi akhir tahun 2014 menjadi 102,35.
Di saat yang sama, rata-rata yield obligasi yakni INDOBeX Composite Effective Yield naik dari semula 8,34% menjadi 9,43%. Tertekannya rupiah menjadi salah satu faktor yang menyeret pasar surat utang dalam negeri. Di pasar spot, Selasa (15/9) nilai tukar rupiah turun 0,53% ketimbang hari sebelumnya menjadi Rp 14.408 per dollar AS. Ini merupakan level terendah rupiah sejak 1998 silam. “Karena yield sudah tinggi, mereka masuk ke SUN untuk membantu kinerja reksadana mereka. Jadi ada kepastian mendapat kupon,” imbuhnya. Pasar saham juga koreksi. Alhasil, para manajer investasi memarkirkan dana mereka ke SUN agar setidaknya dapat memperoleh yield yang tinggi. Jika pasar saham mulai bullish (naik), barulah manajer investasi menggeser kembali portofolio mereka dari SUN ke saham. Membaik di awal 2016 Senada, analis Infovesta Utama Praska Putrantyo menjelaskan, kenaikan yield SUN menjadi daya tarik bagi para manajer investasi. Apalagi SUN terbilang lebih minim risiko gagal bayar. Instrumen tersebut juga lebih likuid. Selain itu, kenaikan SUN di reksadana sejalan dengan bertambahnya porsi investor asing. Data DJPPR menyebutkan, per 11 September 2015, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) yang dapat diperdagangkan mencapai Rp 528,42 triliun, tumbuh 14,53% dibandingkan posisi akhir tahun 2014. “Memang pasar SUN lagi tertekan. Tapi cara pandang investor asing dan domestik itu sama,” jelas Praska.
Mereka masih optimistis dengan prospek pasar surat utang Indonesia. Sepanjang tahun 2015, investor asing masih mencatatkan net buy Rp 64 triliun. Menurut Praska, besar peluang akumulasi SUN di reksadana akan meningkat hingga pengujung tahun 2015 karena harga SUN yang relatif murah. Mayoritas manajer investasi menempatkan SUN pada reksadana pendapatan tetap dan reksadana campuran. Praska memprediksi, reksadana berbasis obligasi seperti jenis reksadana pendapatan tetap akan mencetak return 3% - 4% sepanjang tahun 2015. Kondisi ini tertopang oleh yield SUN yang relatif tinggi. Made memperkirakan, di akhir tahun, akumulasi SUN di reksadana akan mencapai Rp 61 triliun – Rp 62 triliun. Jika ada kepastian mengenai rencana kenaikan suku bunga acuan dalam rapat The Fed (FOMC Meeting) yang berlangsung pada 16 September 2015–17 September 2015, pasar SUN akan membaik. “Tapi agak sulit kalau mau balik ke kondisi awal tahun. Diharapkan pulih awal tahun 2016,” tutur Made. Faktor pendorongnya adalah, pemerintah Indonesia pekan lalu merilis paket kebijakan ekonomi yang diprediksi dapat memberikan dampak positif. Tapi diprediksi, efek program pemerintah tersebut bersifat jangka menengah dan panjang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie