Supaya pebisnis kecil enggak pusing soal kasir



Pertumbuhan kelas menengah di Indonesia melahirkan kelas konsumen baru. Kalangan ini memiliki daya beli cukup kuat dan menjadi salah satu motor perekonomian domestik.

Kehadiran kelas konsumen baru ini pula yang menjadi satu dari sekian faktor pemicu kelahiran usaha-usaha baru, dari usaha kelas kakap hingga kelas gurem. Potensi daya beli kelas menengah baru menjadi peluang yang sayang bila diabaikan begitu saja.

Mengutip data terakhir yang pernah dilansir oleh Pemerintah, jumlah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia mendekati 60 juta usaha. Sektor UMKM juga menyerap tenaga kerja cukup banyak.

Jumlah UMKM itu diprediksi akan terus meningkat, terlebih ketika daya beli masyarakat semakin besar. Hanya, UMKM di Indonesia masih banyak menghadapi kendala.

Sebut saja, dari sisi permodalan, beban pajak, sampai tuntutan seputar pemasaran  demi memenangkan persaingan. Di saat yang sama, pebisnis UMKM di Indonesia juga kerap masih disibukkan oleh urusan teknis administratif bisnis mereka. Misalnya, terkait manajemen toko, laporan keuangan dan sistem kasir.

Haryanto Tanjo dan Grady Laksmono, dua sekondan yang sama-sama menempuh studi di Amerika Serikat (AS), jeli melihat kondisi ini. “Banyak dari pebisnis UMKM di Indonesia masih menjalankan bisnis secara manual, terutama dari sistem sistem kasir atau point-of-sale  (POS) mereka,” cerita Haryanto kepada Tabloid KONTAN, beberapa waktu lalu.

Sistem kasir yang memuat tentang data penjualan, informasi stok, dan seputar transaksi bisnis, kebanyakan masih dijalankan manual dengan catatan tangan. Sebagian juga sudah memakai sistem kasir berlisensi atau kasir tradisional.

Hanya saja, sistem kasir tradisional itu membutuhkan dana investasi tidak sedikit. “Harga beli sistem seperti itu bisa di atas Rp 20 juta,” kata Haryanto. Belum lagi alokasi biaya perawatan dan lain-lain.

Untuk pebisnis kelas UMKM yang beromzet di bawah Rp 100 juta, angka itu tidak sedikit. Akhirnya, banyak pebisnis UMKM yang mencatat secara manual.

Urusan teknis administratif seperti itu, menurut Haryanto, malah banyak menyita waktu dan fokus para pebisnis UMKM. Alih-alih memikirkan strategi pengembangan bisnis, si pelaku UMKM tersedot mengurusi hal teknis.

Dari sinilah, ide kelahiran Moka bermula. Sekitar Juli 2014, Haryanto dan Grady mulai menggodok konsep Moka. Pengamatan selama di Amerika cukup membantu mereka menggodok konsep.

Di negeri adidaya itu, pemakaian sistem kasir berbasis aplikasi sudah lazim. “Jangankan yang punya toko, pebisnis UMKM yang baru sebatas ikut bazaar juga sudah memakai aplikasi POS,” jelas Haryanto.

Enam bulan menggodok, pada awal 2015, aplikasi sistem kasir Moka POS resmi meluncur. Haryanto menuturkan, kelahiran Moka mendapat suntikan modal dari East Ventures, modal ventura yang berbasis di Singapura.

Berapa nominal investasi mereka? Haryanto enggan mengungkapkan. “Yang pasti, dana tersebut banyak terpakai untuk pengembangan produk,” jelas dia.

Data real time

Bagaimana menggunakan Moka POS? Asumsikan Anda seorang pebisnis UMKM di segmen food and beverages. Sebagai langkah awal, unduh aplikasi Moka di gawai berbasis iOS  atau Android. Khusus untuk iOS, Moka hanya bisa didapatkan di gawai iPad.

Selanjutnya, usai mendaftar, Anda bisa klik menu library atau pusat data.

Di sini, Anda bisa memasukkan detail informasi  produk yang Anda jual, mulai dari nama produk, pilihan ukuran dan fitur produk bila ada, informasi harga setiap produk, juga informasi stok. Setelah itu, Anda dapat menambahkan informasi lain seperti diskon harga di menu discount.

Nah, bila usaha sudah memiliki cabang, Anda bisa menambahkan informasi cabang dan mengundang manajer toko, kasir atau pramusaji di toko Anda sebagai user Moka.

Walaupun karyawan dapat memproses transaksi lewat aplikasi ini, kendali utama tetap ada di tangan pemilik akun. Begitu nanti ada pesanan masuk, pengguna Moka tinggal memasukkan data dan memproses transaksi.

Pemilik toko yang memegang akun Moka bisa memantau transaksi di semua cabang toko, saat itu juga.

Fitur Moka POS juga menyediakan analisis data penjualan. Isinya antara lain, data produk terlaris (top items),  jam-jam transaksi paling padat, data penjualan, laba bersih, jumlah transaksi, dan lain sebagainya.

Aplikasi ini bisa menjalankan customer engagement melalui pengiriman receipt bill ke email pelanggan toko Anda. Dari situ, Anda bisa meminta masukan pelanggan untuk layanan bisnis Anda.

Pemilik akun Moka dapat mengetahui histori kedatangan dan transaksi pelanggan. Data-data itu dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha dengan strategi lebih jitu.

Ketika Tabloid KONTAN mencoba aplikasi ini, tampilan aplikasi Moka didominasi oleh warna putih dan biru sehingga terlihat bersih dan lapang.

Mudah dan murah

Haryanto menegaskan, salah satu tujuan utama kehadiran aplikasi sistem kasir Moka adalah menjadikan point-of-sale sebagai proses yang mudah dan murah, terutama bagi pebisnis UMKM yang memiliki modal terbatas.

Sistem kasir tradisional terkenal rumit. Fitur dan tampilan terlihat membosankan dan tidak mudah dioperasikan pengguna tanpa ada training terlebih dulu.

Selain itu, harganya mahal karena berbasis lisensi. “Moka ingin mengubah itu dengan menyajikan hal sebaliknya,” kata dia.

Untuk menikmati aplikasi kasir ini, pemilik bisnis cukup membayar biaya langganan Rp 250.000 per bulan untuk setiap outlet. Selain itu, tidak ada kontrak khusus yang mengikat pemilik usaha dengan startup ini.

Laiknya sebuah aplikasi, setiap ada pembaruan sistem atau fitur, Moka tidak memungut biaya tambahan pada pelanggannya.

Ini berkebalikan dengan sistem kasir tradisional yang umumnya berbasis biaya lisensi. “POS berbasis lisensi begitu ada fitur baru, ya, si pebisnis harus beli lagi yang baru,” kata Haryanto.

Moka menyediakan dua pilihan aplikasi bagi para pelaku bisnis, yaitu Moka Professional dan Moka Mobile. Kedua pilihan itu menyajikan fitur serupa, hanya berbeda dari sisi tampilan dan kelengkapan perangkat keras (hardware).

Tampilan Moka Professional  di gawai berbentuk lansekap dan cuma tersedia di Apple iPad. Moka Professional dilengkapi mesin printer, laci kasir alias cash drawer, juga alat pindai atau barcode scanner.

Sedangkan tampilan Moka Mobile adalah top view dan tersedia untuk ponsel pintar berbasis Android. Bisa dilengkapi dengan mobile printer. Moka merekomendasikan pilihan ini untuk pebisnis kelas pameran, kios atau food truck.

Tidak ada perbedaan harga langganan di antara dua jenis tersebut. Khusus untuk kebutuhan perangkat keras, Moka menyerahkan pada keputusan pelanggan.

Yang jelas, perusahaan rintisan ini juga menyediakan kebutuhan hardware tersebut. Harganya tertera jelas di website Moka dan sifatnya tidak wajib beli. Perangkat itu, antara lain receipt/kitchen printer, laci kasir, alat pindai,  mobile printer hingga Moka mobile card.

Haryanto mengungkapkan, Moka sudah bekerjasama dengan Bank Mandiri sehingga pengguna Moka POS bisa memiliki Electronic Data Capture (EDC) dan menerima pembayaran lewat kartu kredit atau debit.

Moka mengutip fee 2,2% dari setiap transaksi memakai kartu. Untuk memiliki EDC dari bank, sebuah usaha biasanya sudah harus mengantongi Surat Izin Usaha Perdagangan atau Tanda Daftar Perusahaan. Dengan memakai sistem Moka, pebisnis UMKM yang belum mengantongi kedua izin itu tetap bisa memakai EDC dari Moka.

Kini, setelah meluncur sejak awal 2015, Haryanto mengklaim, Moka sudah memiliki sekitar 1.000 pelanggan. Kebanyakan adalah pebisnis kecil dengan omzet di bawah Rp 200 juta. “Mayoritas mereka berbisnis di segmen F&B, ritel dan servis seperti salon,” ungkap Haryanto.

Sebagai usaha rintisan dan segmen pasar potensial, Haryanto menargetkan Moka bisa berkembang tiga hingga tujuh kali lipat per tahun dari kondisi saat ini. Moka kini digawangi oleh sekitar 50 anggota tim.

Haryanto bilang, tim pengembangan produk Moka tengah menyiapkan fitur-fitur lebih lengkap untuk aplikasi ini. “Visi kami adalah menjadi solusi end-to-end UMKM di Indonesia,” jelas dia.

Di Indonesia, aplikasi sistem kasir seperti yang diusung oleh Moka POS bukanlah satu-satunya. Ada Dokuku yang tersedia di gawai berbasis Windows dan Android.

Biaya langganan Dokuku sekitar Rp 200.000 per pendaftar setiap bulan. Bila ada tambahan pengguna, ada biaya langganan tambahan Rp 150.000 per bulan. Tampilannya lebih sederhana dan tidak mendukung data real-time.

Semoga UMKM kian maju! 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan