Berawal dari cinta. Demikian kira-kira arti nama Tresna Art, galeri batik milik Supiatun Amin. Ia mengawali usahanya dari rasa cintanya kepada batik tulis madura. Kini, gerai Supiatun menjadi yang terbesar di Bangkalan.Saat memulai kiprah bisnisnya, Supiatun Amin tidak pernah membayangkan usahanya akan membesar. Bisnis yang kini beromzet lebih dari Rp 500 juta per bulan itu berawal dari hobi sang pemilik terhadap batik. Yang lebih mengesankan lagi, nenek bercucu satu itu memulai bisnisnya dengan modal nol rupiah.Semua berawal dari kisah keluarga. Sebetulnya, darah pembatik sudah mengalir di darah perempuan yang akrab dipangil Supik ini. Batik-batik peninggalan leluhurnya bahkan ada yang berusia lebih dari 200 tahun. Sayang, tradisi membatik berhenti di kedua orang tua Supik. Alhasil, dia tak punya keahlian membatik saat itu.Untunglah, minimnya keahlian tidak menyurutkan kecintaan Supik terhadap batik. Dengan tekun, Supik mendatangi para perajin batik di sekitar tempat tinggalnya, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Dari hanya ingin mengetahui proses membatik, Supik belakangan tertarik untuk menjual batik.Ide ini tebersit gara-gara ada yang tertarik dengan batik yang dipakainya dan menanyakan harga. Sejak itulah, Supik mulai berbisnis batik. Ia menyambangi para perajin di Bangkalan, yang kemudian menitipkan batik-batiknya ke Supik untuk dijual.Dia bersyukur, para perajin mengizinkannya membawa dulu batik-batik itu secara gratis. Baru kalau ada yang laku, hasil penjualan diserahkan ke para perajin. Supik mendapatkan upah dari para perajin berdasarkan hasil penjualan.Setelah menikah tahun 1985, Supik makin serius menekuni bisnisnya. Alhasil, selang berjalan dua tahun, hasil dagangan batik Supik makin laris. Bukan hanya mendapatkan ilmu tentang cara membatik, bisnis Supik juga makin membesar.Berkah SuramaduDia juga sudah bisa mengajarkan bagaimana memproduksi batik kepada anak-anak di lingkungan tempat dia tinggal. Selain kecintaannya yang besar terhadap batik tulis Bangkalan, alasan lain ia berbagi ilmu adalah melunasi “utang budi” kepada para perajin yang sudah menurunkan ilmu membatik.Tahun 2005, Supik memutuskan melegalkan status bisnisnya legal dengan membuat badan hukum usaha dagang (UD). Ia juga meluncurkan merek sendiri: Tresna Art. Di samping menjual batik dan masih mengambil dari para perajin, Supik mulai memproduksi batiknya sendiri.Hanya saja, Supik mempertahankan tradisi batik tulis di produk-produknya. “Nama Tresna Art diambil dari kata cinta. Itu artinya saya cinta batik tulis Bangkalan. Jadi, saya mempertahankan produk khusus batik tulis,” tutur Supik.Alih-alih menyempitkan lahan bisnis, fokus ke batik tulis justru menguntungkan Supik. Di saat batik tulis sudah makin jarang dicari, kualitas produk Supik makin hari makin membaik. Banyak orang mencari batik tulis ke Tresna Art. “Sekarang, sudah tidak ada batik tulis di Bangkalan. Tresna Art satu-satunya yang menjual batik tulis asli,” ujar Supik bangga.Di Tresna Art, Supik tidak hanya menjual batik dalam lembaran, tetapi juga yang berwujud pakaian jadi. Harga produk pakaian dari batik tulis itu paling murah Rp 150.000 per potong. Yang paling laris justru batik yang harganya di atas Rp 500.000 atau bahkan jutaan rupiah per potong. “Kalau sedang ramai, omzet saya bisa di atas Rp 20 juta per hari. Tapi kalau sepi, cuma Rp 1 juta-Rp 2 juta saja,” kata Supik.Yang menarik, Supik tidak tertarik menjadi eksportir batik. Supik juga tak ingin membuka cabang lain di luar Bangkalan atau di luar Madura. Alasannya sederhana. “Kalau saya buka, nanti orang tidak datang ke Bangkalan,” terang Supik.Terus terang, dia tak memikirkan angka-angka penjualan sekarang ini. Toh, sudah ada Jembatan Suramadu yang berjasa menaikkan omzetnya tiga kali lipat sejak diresmikan Juni 2009 silam. “Saya sudah bersyukur. Dengan adanya Suramadu, bisnis di Madura jadi maju,” imbuh Supik.Sekarang, omzet bulanan Supik sudah tembus di atas Rp 500 juta. Hasil ini berkat penjualan yang tidak hanya di Madura. Bahkan, pesanan datang dari luar negeri, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Prancis, dan negara Eropa lainnya. Mereka tergolong pemesan tetap batik tulis milik Supik.Jumlah karyawan tetap Supik kini berjumlah 12 orang dan sekitar 300 lebih perajin yang menjadi pemasok tetap batik-batik tulis Supik. Itu masih ditambah karya anak-anak SMP dan SMA yang sering kali membatik di tempat Supik, seusai pulang sekolah. “Ada perguruan tinggi dan dari pondok pesantren juga yang belajar batik tulis khas Bangkalan di Tresna Art,” ujar Supik.Sejak Suramadu diresmikan, banyak produk batik dan para pedagang membanjiri Madura. Mulai dari batik cap, batik semi-tulis, dan sebagainya. Harganya pun lebih murah dibandingkan dengan produk yang dijajakan Supik. Namun, supik tidak risau dengan kehadiran pesaing itu. “Saya anggap mereka sebagai penyemangat agar saya menjadi lebih baik dan mencintai batik tulis,” jelas Supik. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Supiatun cetak omzet besar dari batik madura
Berawal dari cinta. Demikian kira-kira arti nama Tresna Art, galeri batik milik Supiatun Amin. Ia mengawali usahanya dari rasa cintanya kepada batik tulis madura. Kini, gerai Supiatun menjadi yang terbesar di Bangkalan.Saat memulai kiprah bisnisnya, Supiatun Amin tidak pernah membayangkan usahanya akan membesar. Bisnis yang kini beromzet lebih dari Rp 500 juta per bulan itu berawal dari hobi sang pemilik terhadap batik. Yang lebih mengesankan lagi, nenek bercucu satu itu memulai bisnisnya dengan modal nol rupiah.Semua berawal dari kisah keluarga. Sebetulnya, darah pembatik sudah mengalir di darah perempuan yang akrab dipangil Supik ini. Batik-batik peninggalan leluhurnya bahkan ada yang berusia lebih dari 200 tahun. Sayang, tradisi membatik berhenti di kedua orang tua Supik. Alhasil, dia tak punya keahlian membatik saat itu.Untunglah, minimnya keahlian tidak menyurutkan kecintaan Supik terhadap batik. Dengan tekun, Supik mendatangi para perajin batik di sekitar tempat tinggalnya, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Dari hanya ingin mengetahui proses membatik, Supik belakangan tertarik untuk menjual batik.Ide ini tebersit gara-gara ada yang tertarik dengan batik yang dipakainya dan menanyakan harga. Sejak itulah, Supik mulai berbisnis batik. Ia menyambangi para perajin di Bangkalan, yang kemudian menitipkan batik-batiknya ke Supik untuk dijual.Dia bersyukur, para perajin mengizinkannya membawa dulu batik-batik itu secara gratis. Baru kalau ada yang laku, hasil penjualan diserahkan ke para perajin. Supik mendapatkan upah dari para perajin berdasarkan hasil penjualan.Setelah menikah tahun 1985, Supik makin serius menekuni bisnisnya. Alhasil, selang berjalan dua tahun, hasil dagangan batik Supik makin laris. Bukan hanya mendapatkan ilmu tentang cara membatik, bisnis Supik juga makin membesar.Berkah SuramaduDia juga sudah bisa mengajarkan bagaimana memproduksi batik kepada anak-anak di lingkungan tempat dia tinggal. Selain kecintaannya yang besar terhadap batik tulis Bangkalan, alasan lain ia berbagi ilmu adalah melunasi “utang budi” kepada para perajin yang sudah menurunkan ilmu membatik.Tahun 2005, Supik memutuskan melegalkan status bisnisnya legal dengan membuat badan hukum usaha dagang (UD). Ia juga meluncurkan merek sendiri: Tresna Art. Di samping menjual batik dan masih mengambil dari para perajin, Supik mulai memproduksi batiknya sendiri.Hanya saja, Supik mempertahankan tradisi batik tulis di produk-produknya. “Nama Tresna Art diambil dari kata cinta. Itu artinya saya cinta batik tulis Bangkalan. Jadi, saya mempertahankan produk khusus batik tulis,” tutur Supik.Alih-alih menyempitkan lahan bisnis, fokus ke batik tulis justru menguntungkan Supik. Di saat batik tulis sudah makin jarang dicari, kualitas produk Supik makin hari makin membaik. Banyak orang mencari batik tulis ke Tresna Art. “Sekarang, sudah tidak ada batik tulis di Bangkalan. Tresna Art satu-satunya yang menjual batik tulis asli,” ujar Supik bangga.Di Tresna Art, Supik tidak hanya menjual batik dalam lembaran, tetapi juga yang berwujud pakaian jadi. Harga produk pakaian dari batik tulis itu paling murah Rp 150.000 per potong. Yang paling laris justru batik yang harganya di atas Rp 500.000 atau bahkan jutaan rupiah per potong. “Kalau sedang ramai, omzet saya bisa di atas Rp 20 juta per hari. Tapi kalau sepi, cuma Rp 1 juta-Rp 2 juta saja,” kata Supik.Yang menarik, Supik tidak tertarik menjadi eksportir batik. Supik juga tak ingin membuka cabang lain di luar Bangkalan atau di luar Madura. Alasannya sederhana. “Kalau saya buka, nanti orang tidak datang ke Bangkalan,” terang Supik.Terus terang, dia tak memikirkan angka-angka penjualan sekarang ini. Toh, sudah ada Jembatan Suramadu yang berjasa menaikkan omzetnya tiga kali lipat sejak diresmikan Juni 2009 silam. “Saya sudah bersyukur. Dengan adanya Suramadu, bisnis di Madura jadi maju,” imbuh Supik.Sekarang, omzet bulanan Supik sudah tembus di atas Rp 500 juta. Hasil ini berkat penjualan yang tidak hanya di Madura. Bahkan, pesanan datang dari luar negeri, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Prancis, dan negara Eropa lainnya. Mereka tergolong pemesan tetap batik tulis milik Supik.Jumlah karyawan tetap Supik kini berjumlah 12 orang dan sekitar 300 lebih perajin yang menjadi pemasok tetap batik-batik tulis Supik. Itu masih ditambah karya anak-anak SMP dan SMA yang sering kali membatik di tempat Supik, seusai pulang sekolah. “Ada perguruan tinggi dan dari pondok pesantren juga yang belajar batik tulis khas Bangkalan di Tresna Art,” ujar Supik.Sejak Suramadu diresmikan, banyak produk batik dan para pedagang membanjiri Madura. Mulai dari batik cap, batik semi-tulis, dan sebagainya. Harganya pun lebih murah dibandingkan dengan produk yang dijajakan Supik. Namun, supik tidak risau dengan kehadiran pesaing itu. “Saya anggap mereka sebagai penyemangat agar saya menjadi lebih baik dan mencintai batik tulis,” jelas Supik. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News