Supply-demand dan data akurat solusi kisruh beras



JAKARTA. Pusat Kajian Pertanian Pangan & Advokasi (PATAKA) menggelar seminar dengan tema tentang Quo Vadis Satgas Pangan Dalam Stabilisasi Harga. Seminar ini khususnya membahas tentang produksi pangan khususnya beras dan penetapan harga acuan yang ditetapkan pemerintah.

Acara tersebut dihadiri oleh Faisal Basri, ekonom Universitas Indonesia, Alamsyah Saragih, Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, serta Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian. 

Dwi mengungkap persoalan mengenai beras harus dilihat dari keakuratan data. Dia bilang, kebijakan yang ditetapkan dari data yang tidak tepat akan menimbulkan kerugian kepada pelaku usaha serta konsumen.


Menurut Dwi, saat ini terjadi ketidaksesuaian antara produksi padi dan pertumbuhan penduduk. Pasalnya, sejak 2006 produksi padi meningkat sebanyak 57% sementara pertumbuhan penduduk sebesar 15,2%. Dwi juga menyoroti kenaikan harga beras yang naik dari tahun ke tahun.

"Kami meragukan data produksi. Dibandingkan pertumbuhan penduduk, produksi padi meningkat 3,75 kali lipat. Artinya kita seharusnya surplus beras," ungkap Dwi, Selasa (8/8).

Sementara itu, Faisal mengungkapkan penetapan harga yang ditetapkan oleh pemerintah membuat harga tidak fleksibel. Apalagi bila harga yang sama ditetapkan di seluruh Indonesia. Padahal harga produksinya juga tinggi. Jadi harga beras itu harus sesuai pasar.

Adanya penetapan harga justru membuat petani enggan menanam padi, sementara pelaku usaha enggan menjalankan usahanya. Penetapan harga acuan justru tidak terlalu membantu menjaga stabilitas harga. "Untuk mengatasi harga yang harus diselesaikan itu supply dan demand," tutur Faisal.

Menurut Faisal, harga beras yang tinggi di pasaran justru tidak memberikan keuntungan bagi petani. Hal tersebut karena biaya produksi yang dikeluarkan, khususnya untuk sewa lahan dan tenaga kerja lebih besar dibandingkan biaya lainnya.

Sementara itu, Alamsyah juga mengungkap penyebab tingginya harga beras diakibatkan jumlah pasokan yang kurang, biaya produksi yang tinggi, adanya kelebihan kapasitas bagi penggilingan padi, struktur pasar yang tidak sempurna serta stabilisasi harga yang tidak berfungsi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini