Surplus dagang akan berlanjut Mei



JAKARTA. Tren perlambatan pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama 2015, tampaknya, belum akan berpengaruh negatif pada neraca perdagangan. Sebab,  Badan Pusat Statistik (BPS) masih optimistis, surplus neraca perdagangan akan berlanjut hingga bulan Mei 2015.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo memproyeksikan, tren impor pada bulan Mei masih akan mengalami peningkatan, khususnya pada impor bahan baku dan barang modal. Hal tersebut sejalan dengan rencana pembangunan infrastruktur pemerintah yang akan dimulai pada kuartal kedua tahun ini.

Kendati demikian, walaupun impor bahan baku dan barang modal akan mengalami peningkatan, impor secara total diperkirakan mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan sebelumnya karena adanya tekanan pada impor barang konsumsi. Menurut Sasmito, tekanan tersebut terjadi akibat adanya perang harga pada barang golongan mesin dan peralatan listrik serta mesin dan peralatan mekanik, seperti ponsel, televisi, dan peralatan listrik.


Apalagi saat ini, produsen ponsel di ASEAN semakin banyak sehingga mereka bersaing dari sisi harga demi mendapatkan ceruk pasar. Sebab itu, para produsen ponsel berani memberikan harga rendah walaupun nilai tukar dollar Amerika Serikat terhadap mata uang lainnya sedang menguat. Akibatnya, impor golongan tersebut pada bulan Mei akan mengalami penurunan ketimbang bulan April sebelumnya.

"Yang mengalami perang harga adalah Vietnam karena produksi elektroniknya juga banyak. Kemudian Tiongkok yang terkadang harganya tidak masuk akal, sebab harga dari produk buatannya berbeda jauh dengan dengan produk serupa," kata Sasmito, Jumat (15/5).

Sementara itu dari sisi ekspor, BPS memperkirakan ekspor migas masih tertekan. Selain itu, ekspor batubara juga tertekan karena harganya masih melempem. Kendati demikian, tekanan ekspor migas akan diimbangi dengan peningkatan volume ekspor non migas, khususnya pada Crude Palm Oil (CPO) dan karet. Maklum, BPS memperkirakan rata-rata harga CPO pada bulan Mei ini meningkat.

Selain itu, BPS yakin risiko perang harga pada komoditas CPO dan karet sangat kecil,  mengingat Indonesia sebagai salah satu pengeskpor terbesar dua komoditas tersebut. Indonesia dan beberapa negara bisa menjaga harga komoditas unggulan agar stabil. "Indonesia bisa kompak dengan Malaysia karena menguasai produk CPO hampir 90%. Kemudian karet, Indonesia bisa kompak dengan Malaysia, Vietnam, Thailand," tambah Sasmito.

Di sisi lain, ekspor produk manufaktur seperti tekstil dan sepatu juga diperkirakan mengalami peningkatan pesat pada bulan Mei ini.

Surplus Lebih Kecil

Kendati demikian, surplus pada bulan Mei 2015 diperkirakan lebih kecil dibandingkan dengan surplus pada bulan April yang mencapai US$ 454,4 juta. Data BPS menunjukkan, surplus neraca perdagangan pada bulan April 2015 terjadi akibat nilai ekspor yang lebih tinggi, yakni US$ 13,08 miliar, ketimbang impor sebanyak US$ 12,63 miliar.

Kendati demikian, ekspor pada April 2015 mengalami penurunan sebesar 4,04% dibandingkan dengan ekspor bulan Meret lalu. Penurunan terjadi akibat turunnya ekspor migas sebesar 26,68% ketimbang Maret 2015, yang utamanya disebabkan oleh anjloknya ekspor batubara.

Selain itu, untuk ekspor non migas, terjadi pula penurunan sebesar 0,17% dibandingkan dengan ekspor Maret 2015. Meski ekspor non migas turun, ekspor untuk golongan lemak minyak hewan dan nabati malah naik sebesar US$ 270,8 juta dibandingkan dengan Meret 2015.

Sedangkan dari sisi impor, nilai impor pada April 2015 mengalami kenaikan 0,16% dibandingkan impor Maret 2015 dan mengalami penurunan 22,31% dibandingkan impor April 2014 lalu. Selama April 2015 lalu, impor golongan mesin dan peralatan mekanik mengalami penurunan tertinggi untuk impor non migas sebesar 9,90% dibandingkan Maret lalu akibat adanya perang harga, terutama pada produk ponsel.

Sedangkan dilihat dari golongan penggunaan barang, selama April 2015 impor barang konsumsi turun 2,1% menjadi US$ 910,8 juta. Sementara itu impor barang modal juga melempem menjadi US$ 2,027 miliar.

Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih sependapat bahwa peluang surplus di bulan Mei masih ada. Kendati demikian, surplus tersebut disebabkan  masih terjadinya penurunan impor dan ekspor yang juga masih belum menggeliat.

Selain itu, penurunan impor di bulan April lalu kemungkinan berlanjut. Sebab, masyarakat masih menahan diri untuk tidak berkonsumsi menjelang musim puasa, lebaran, dan menjelang tahun ajaran baru. "Tapi surplusnya tidak sehat sebab terjadi karena impor yang menurun," kata Lana.

Sementara dari sisi ekspor pun belum bisa diandalkan. Mengingat ekspor Indonesia masih bergantung pada komoditas. Selain itu, kinerja ekspor Indonesia juga masih bergantung pada kondisi ekonomi China. Perlambatan ekonomi di China membuat harga komoditas melemah dan permintaan menurun.

Pemerintah hanya punya satu pertolongan untuk memperbaiki kualitas neraca perdagangan melalui realisasi pembangunan infrastruktur. Dengan jalannya rencana tersebut, pemerintah akan membantu impor barang modal dan bahan baku. "Mungkin bisa defisit, namun defisit yang berkualitas tidak apa-apa," tambah Lana.

Sebab, pemerintah juga tidak bisa mengandalkan pengusaha dalam melakukan impor barang modal dan bahan baku untuk kegiatan produksinya. Diperkirakan, pengusaha masih akan menunggu perbaikan kondisi ekonomi hingga kuartal ketiga dan keempat tahun ini.

Sementara itu, untuk mendorong ekspor dan melepas ketergantungan ekspor komoditas, pemerintah harus memiliki terobosan dalam memasuki pasar ekspor manufaktur, misalnya melalui produk-produk yang high  end. Sebab, produk-produk menengah dalam negeri masih kalah bersaing dengan produk-produk dari China.               

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie