KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan harga produk perkebunan seperti minyak sawit mentah atau
crude palm oil (CPO) dan karet akan mendorong jatuhnya kinerja ekspor Indonesia. Itulah sebabnya, surplus neraca perdagangan akan menyusut di April 2018, dibandingkan surplus Maret 2018 yang sebesar US$ 1,09 miliar. Ekonom Bank Permata Josua Pardede menghitung, surplus neraca dagang April 2018 hanya akan mencapai US$ 591 juta. Surplus terjadi karena nilai ekspor diperkirakan hanya US$ 14,7 miliar, naik 11,58% dibandingkan April 2017
year on year (
yoy). Sedangkan impor sebesar US$ 14,21 miliar atau naik 19,09% (
yoy). Angka ekspor dan impor tersebut turun dari Maret 2018 yang masing-masing tercatat US$ 15,58 miliar dan US$ 14,49 miliar.
Kinerja ekspor kurang bagus karena harga komoditas menunjukkan pelemahan. Rata-rata harga minyak sawit mentah pada April 2018 sebesar US$ 621,9 per metrik tron, turun 0,06% dibandingkan sebulan sebelumnya US$ 622,28 per metrik ton. Meski demikian harga minyak mentah dunia meningkat selama April, sehingga bisa menyokong ekspor. "Hal inilah yang menyebabkan surplusnya agak turun dari bulan sebelumnya," kata Josua kepada KONTAN, Senin (14/5). Kinerja ekspor juga tertolong indeks manufaktur China dan Jepang yang meningkat. Dengan kenaikan itu, maka permintaan ekspor ke kedua negara itu meningkat. Sayangnya, indeks manufaktur Eropa belum terlalu kuat. Ekspor juga tertolong pelemahan rupiah. Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia mencatat, rata-rata kurs rupiah April 2018 adalah sebesar Rp 13.802,95 per dollar AS. Nilai itu melemah 0,32% dibandingkan sebulan sebelumnya Rp 13.758,29 per dollar AS. Dari sisi impor, penurunan bulanan terjadi seiring berkurangnya impor bahan pangan terutama beras. Penyebabnya, Indonesia memasuki masa panen raya. "Impor bahan baku dan barang modal masih mendominasi," jelas Josua. Menyusutnya surplus neraca dagang diperkirakan akan berlanjut hingga Mei 2018, seiring peningkatan ekspor dan impor menjelang lebaran. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memproyeksi, secara tahunan ekspor dan impor masing-masing tumbuh 12,3% dan 19,2% pada April 2018. Sehingga, surplus neraca perdagangan menyusut menjadi US$ 184 juta. "Kinerja impor masih lebih rendah dibanding bulan sebelumnya dan baru akan meningkat pada Mei ini," katanya. Ekonom Maybank Indonesia Juniman juga memperkirakan, surplus neraca dagang April ini akan susut menjadi US$ 480 juta. Penyebabnya, ekspor dan impor turun dibanding bulan sebelumnya. Tapi, penurunan ekspor lebih dalam dibanding impor. Menurut Juniman, penurunan ekspor terutama disebabkan oleh permintaan dari mitra dagang yang kembali normal di bulan April setelah melonjak pada Maret lalu. Selain itu, penurunan ekspor juga disebabkan oleh penurunan harga beberapa komoditas, yakni CPO, timbal, dan seng serta proteksi perdagangan Amerika Serikat.
Sedangkan penurunan impor disebabkan penurunan impor beras karena adanya panen raya di dalam negeri dan pelemahan kurs rupiah. "Pengaruh permintaan untuk persiapan Ramadan dan Lebaran belum banyak di April 2018 dan baru akan banyak di Mei, terutama untuk stabilitas harga," kata Juniman. Juniman memperkirakan impor akan melonjak pada Mei ini sehingga surplus neraca dagang kembali menyusut menjadi US$ 200 jutaan saja. Pada Juni dan Agustus, bahkan Juniman memperkirakan neraca dagang mencatat defisit sehingga surplus sepanjang tahun hanya akan mencapai US$ 3,16 miliar saja. Sedangkan menurut Ekonom Standard Chartered Bank Indonesia Aldian Taloputra, surplus neraca dagang April 2018 menyusut menjadi US$ 601 juta. Ekspor diperkirakan tumbuh 17,7% (
yoy) dan impor tumbuh 25,8% (
yoy). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini