Surplus Neraca Perdagangan Masih Bakal Berlanjut Beberapa Waktu ke Depan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Neraca perdagangan Indonesia masih mencetak surplus pada Maret 2022. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca perdagangan pada bulan Maret 2022 sebesar US$ 4,53 miliar.

Dengan perkembangan tersebut, neraca perdagangan pada kuartal I-2022 juga tetap membukukan surplus hingga US$ 9,33 miliar. Surplus ini lebih tinggi dari surplus pada kuartal I-2021 yang sebesar US$ 5,52 miliar.

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan, tren surplus neraca perdagangan yang besar ini masih akan berlanjut bahkan hingga beberapa waktu ke depan.


“Hal ini sehubungan dengan perang antara Rusia dan Ukraina sehingga meningkatkan harga komoditas lebih dari perkiraan sebelumnya. Ini akan mendukung ekspor dan membuat surplus besar neraca perdagangan bertahan selama beberapa waktu ke depan,” ujar Faisal kepada Kontan.co.id Senin (18/4).

Baca Juga: Neraca Perdagangan Maret 2022 Catat Surplus, Berikut Komoditas Penopangnya

Namun, bisa saja surplus neraca perdagangan ini agak tertahan seiring dengan nilai impor yang diperkirakan menyusul. Ini merupakan sebab dari pemulihan ekonomi domestik yang meningkatkan aktivitas dalam negeri.

Bergulirnya roda perekonomian mendorong peningkatan investasi dan kinerja industri pengolahan sehingga impor barang mentah dan barang modal diperkirakan akan meningkat. Apalagi, dua komponen tersebut mencakup 90% dari total impor.

Lebih lanjut, dengan perkembangan tersebut, Faisal memperkirakan, defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang kecil. Menurut perkiraannya, CAD pada kuartal I-2022 sekitar 0,2% produk domestik bruto (PDB).

Namun, ia juga tidak menutup kemungkinan neraca transaksi berjalan untuk mencetak surplus pada kuartal I-2022, yaitu hingga 0,5% PDB.

Dengan kondisi tersebut, Faisal memperkirakan, CAD pada sepanjang tahun 2022 akan lebih sempit dari perkiraan, yaitu sekitar 1% PDB hingga 0% PDB, atau lebih kecil dari perkiraan CAD sebelumnya yang sebesar 2,15% PDB.

“Kondisi ini bisa menjaga stabilnya nilai tuka rupiah, mengkerdilkan risiko ke inflasi impor, dan bisa mendukung agenda Bank Indonesia (BI) untuk tidak buru-buru meningkatkan suku bunga acuan dalam rangka menjaga stabilitas,” kata Faisal.

Baca Juga: BPS: Neraca Perdagangan Surplus dalam 23 Bulan Terakhir

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat