Surplus Neraca Perdagangan Menyempit, Neraca Transaksi Berjalan Berpeluang Defisit



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Neraca transaksi berjalan atau current account berpotensi berbalik mencatat defisit pada tahun 2023. 

Padahal sepanjang tahun berjalan 2023, neraca transaksi berjalan mencatat surplus 0,96% produk domestik bruto (PDB). 

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menghitung, defisit transaksi berjalan pada sepanjang tahun ini mungkin berada di kisaran 0,28% PDB. 


Josua mengungkapkan, potensi kembalinya CAD seiring dengan potensi pelemahan ekspor. 

Baca Juga: BI: Dana Asing Masuk Rp 6,82 Triliun pada Pekan Kedua Desember 2023

Ini pun juga sebenarnya sudah terlihat pada capaian ekspor di sepanjang Januari 2023 hingga November 2023 yang sebesar US$ 236,41 miliar. 

Total nilai ekspor tersebut menurun 11,83% bila dibandingkan dengan periode sama tahun 2022 yang mencapai US$ 268,12 miliar. 

“Melemahnya kinerja ekspor dipengaruhi oleh penurunan harga komoditas, akibat melemahnya permintaan global,” terang Josua kepada Kontan.co.id, Jumat (15/12). 

Di sisi lain, Josua melihat nilai impor ke depan akan relatif menguat. Namun, ini tak selalu diartikan negatif, mengingat impor juga menadakan meningkatnya permintaan dan aktivitas domestik. 

“Dengan kondisi ini, ada kemungkinan tren penyempitan surplus perdagangan, sehingga kami mengantisipasi neraca transaksi berjalan untuk mencatat defisit kecil,” tambahnya. 

Baca Juga: Rupiah Menguat di Pekan Ini Berkat Sinyal The Fed Pangkas Suku Bunga di Tahun 2024

Hanya, ia yakin ketahanan eksternal Indonesia masih akan terjaga. Ini juga seiring dengan kekuatan ekonomi domestik yang mumpuni, inflasi terkendlai, permintaan kuat, dan kelanjutan proyek strategis nasional (PSN). 

Kemudian, ini juga akan mendukung apresiasi nilai tukar rupiah hingga akhir tahun 2023. 

Josua pun memperkirakan, nilai tukar rupiah akan ditutup pada kisaran Rp 15.200 per dolar AS hingga Rp 15.400 per dolar AS pada akhir tahun ini. 

Selain karena kondisi ketahanan eksternal yang masih kuat, ini juga didorong pergeseran skip bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang lebih dovish. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi