Survei DHL : Anak putus sekolah berdampak pada penurunan PDB di negara Asia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan Logistik, DHL, baru-baru ini mengumumkan hasil studinya bersama mitra terhadap anak putus sekolah dan dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian dengan bertajuk A Way Back to School itu membuktikan bahwa anak-anak putus sekolah di Asia dapat menurunkan PDB negara hingga 2% setiap tahunnya.

Makanya, seiring dengan jumlah anak putus sekolah yang meningkat pesat, membuat beberapa negara di Asia dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi perlu berjuang dengan sungguh-sungguh mencari solusi yang tepat untuk mengembalikan 2% PDB yang hilang disebabkan oleh anak putus sekolah.

Berdasarkan laporan tersebut, perusahaan ini menginisasi program DHL GoTeach, sebuah program yang memberikan berbagai kesempatan pendidikan dan kejuruan bagi kaum muda di komunitas yang kurang beruntung di tujuh negara Asia Pasifik.


Program DHL GoTeach telah berjalan di tujuh negara yakni Bangladesh, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam yang diteliti dalam laporan, berbagi kesempatan pendidikan dan kejuruan bagi kaum muda di komunitas yang kurang beruntung. Bekerja bersama mitra non-governmental organization (NGO) global Teach for All dan SOS Children’s Villages.

Peran pendidikan lewat DHL GoTeach bersama Teach for All telah memberikan manfaat kepada 11.000 anak di Bangladesh, India, Malaysia dan Filipina pada tahun 2017. Di waktu yang bersamaan, kerjasama antara DHL dengan NGO SOS Chlidren Village mencatat karyawan DHL telah meluangkan waktunya sebanyak 2.000 jam di DHL GoTeach. Melakukan mentoring, pelatihan dan membuka peluang magang bagi anak muda di Indonesia, Thailand dan Vietnam.

“Anak putus sekolah adalah perkara sosial yang penting dan harus dikenali setiap orang, sebab bisa berdampak pada pelemahan ekonomi yang bisa mengejutkan banyak orang,” jelas Christof Ehrhart, Executive Vice President of Corporate Communications and Responsibility, Deutsche Post DHL Group dalam keterangan resminya, Jumat (27/4).

Wilayah Asia Pasifik tidak seharusnya menggantungkan pada laju pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan pendapat sosial seperti retensi sekolah. Sebagai contoh negara India, meskipun pertumbuhan ekonomi India mencapai 7% per tahun, namun tingkat anak putus sekolah di India mencapai 28% saat masuk tingkat sekolah menengah.

Sementara Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, masih saja ditemukan satu dari lima siswa putus sekolah pada usia sekolah menengah pertama. Jika pemerintah maupun pihak swasta di wilayah Asia tidak segera mengambil kebijakan untuk mengurangi jumlah anak putus sekolah maka wilayah dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat menjanjikan ini akan segera menghadapi kekurangan tenaga kerja dan selanjutnya akan berdampak pada pelemahan ekonomi dan pengembangan di masa depan. 

Pumsaran Tongliemnak, Analisis Kebijakan Kementerian Pendidikan Thailand sekaligus penulis laporan penelitian tentang pendidikan dan anak putus sekolah menjelaskan, negara yang gagal merespon isu anak putus sekolah akan berdampak pada pelemahan pendapatan PDB, atau bisa merasakan ketidakstabilan yang disebabkan oleh gap yang besar antara anak putus sekolah dengan yang tetap bersekolah.

Hasil penelitian juga menemukan bahwa kebanyakan dari anak miskin yang putus sekolah disebabkan karena mencari tambahan pendapatan untuk keluarganya. Untuk itu, meningkatkan kesadaran orang tua akan manfaat menyelesaikan sekolah minimal tingkat menengah sangat penting untuk menjaga siswa tetap sekolah. Dibanding dengan cara tradisional seperti memberikan hibah ataupun subsidi.

Dari penemuan tersebut, Ehrhart membagi dua cara untuk menekan angka anak putus sekolah. Pertama dengan memberi penjelasan jangka panjang tentang manfaat pendidikan yang berkaitan dengan tingkat penghasilan. Kedua, menawarkan kepada anak muda peluang besar untuk meningkatkan kelayakan bekerja dan keterampilan di dalam kelas lewat program DHL GoTeach.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi