Survei Mandiri 2025: UKM Stagnan, Omzet Industri Pengolahan Tertekan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hasil Mandiri Business Survey 2025 mencatat, mayoritas pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) menyatakan kondisi omzet mengalami stagnasi dan cenderung memburuk pada 2025. Kondisi ini bahkan lebih rendah dibandingkan dua tahun terakhir.

Sebanyak 36% responden mengaku kondisi usahanya stagnan, turun dari tahun 2024 yang mencapai 56%. Sementara itu, 15% responden menyatakan kondisi usahanya memburuk, meningkat dibandingkan tahun 2024 yang sebesar 10%. Di sisi lain, 48% responden menyatakan kondisi usahanya membaik atau meningkat, naik dari tahun lalu yang sebesar 34%.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman menilai, stagnasi dan penurunan omzet UKM pada 2025 mencerminkan pelemahan permintaan domestik riil, khususnya dari rumah tangga menengah ke bawah.


“Daya beli tergerus oleh inflasi biaya hidup yang persisten, sementara pertumbuhan pendapatan riil relatif terbatas,” tutur Rizal kepada Kontan, Minggu (21/12/2025).

Di sisi fiskal, Rizal menilai, ruang stimulus 2025 lebih sempit dibanding 2024, sehingga tidak cukup kuat menopang konsumsi UKM.

Baca Juga: Survei Mandiri 2025: Omzet UKM Tertekan, Sektor Ini Paling Terdampak

Adapun ia melihat, dibanding 2024, kondisi omzet UKM lebih baik lantaran pada tahun lalu, UKM masih terbantu oleh belanja pemilu, bansos, dan efek lanjutan pemulihan pascapandemi. Pada 2025.

“Faktor tersebut mereda, sementara tekanan biaya bunga kredit, logistik, dan persaingan produk impor murah justru meningkat, membuat omzet sulit tumbuh meski volume relatif bertahan,” ungkapnya.

Adapun  sektor industri pengolahan mengalami pemburukan kondisi omzet, baik dari sisi jumlah unit usaha maupun rata-rata pertumbuhan omzet.

Dari 44% responden di sektor ini yang menyatakan kondisi bisnisnya membaik, rata-rata pertumbuhan omzetnya hanya mencapai 17%. Namun, sebanyak 41% responden mengaku omzetnya memburuk dengan penurunan mencapai 36%. Dengan demikian, rata-rata pertumbuhan omzet sektor industri pengolahan menjadi yang paling rendah di antara sektor lainnya, yakni negatif 20%.

Rizal menilai, pada industri pengolahan, pemburukan omzet menunjukkan pelemahan permintaan turunan (derived demand) dan tekanan biaya produksi. Ia mengungkapkan, ada banyak industri kecil-menengah manufaktur bergantung pada sektor lain yang melambat, sementara fluktuasi nilai tukar menekan biaya bahan baku. Ruang penyesuaian harga sempit, sehingga margin dan kapasitas produksi tertekan.

Baca Juga: Ekonom: Kebijakan KUR 6% Tanpa Batasan Pengajuan Bisa Perkuat UMKM dan Sektor Riil

Lebih lanjut, Rizal memperkirakan prospek UKM ke depan berpeluang membaik, tetapi sangat bersyarat.

Menurutnya, pemulihan UKM membutuhkan perbaikan daya beli riil, penurunan suku bunga kredit yang efektif di level UMK, serta kebijakan industri yang mendorong substitusi impor dan integrasi UKM ke rantai nilai domestik.

“Tanpa itu, perbaikan akan terbatas dan tidak merata,” tambahnya.

Selanjutnya, Rizal mengungkapkan, faktor kunci pemulihan UKM ke depan bukan semata pembiayaan, melainkan penguatan ekosistem permintaan dan produktivitas.

Maka dari itu, akses pasar yang lebih pasti, belanja pemerintah dan BUMN yang konsisten pro-UKM, dan peningkatan efisiensi melalui teknologi akan menentukan apakah UKM hanya bertahan saja atau kembali tumbuh secara berkelanjutan dan menguat.

Baca Juga: Bunga KUR Flat 6% Berpotensi Dongkrak UMKM, Tapi Risiko Kredit Harus Diantisipasi

Selanjutnya: Asuransi Simas Jiwa Perkuat Komitmen ESG

Menarik Dibaca: Dana Transaksi Tidak Sesuai? Ini Cara Mudah Atur Selisih Pencairan Dana Merchant

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

TAG: