Suwidi sukses olah limbah kelapa



Buah kelapa yang menjadi lambang Pramuka ternyata membawa keberuntungan bagi Suwidi. Pria 56 tahun yang semasa mudanya aktif di kegiatan Pramuka ini berhasil membuka lapangan kerja bagi masyarakat di kampungnya, Desa Lembengan, Ledokombo, Jember, Jawa Timur, berkat buah kelapa.

Dari seorang pemasok kelapa, kini Suwidi menjadi pengekspor serat kelapa (cocofiber) dan serbuk kelapa (cocopeat). Dia mengirimkan produk turunan kelapa ini ke China, Hong Kong, Korea Selatan, hingga Kanada. Padahal, 20 tahun silam, tak terbayang dalam benak Suwidi bahwa dia akan menjadi pengusaha sukses di desanya.

Pada 1986, pria yang berprofesi sebagai guru SD ini hanya ingin mengisi waktu luangnya seusai mengajar. Dia menjadi pemasok kelapa lantaran desanya merupakan daerah penghasil kelapa. “Dulu, kelapa hanya dibawa pakai sepeda sampai kota kabupaten,” kata dia.


Suwidi mencium peluang saat berkunjung ke rumah mertuanya di Sidoarjo, Jawa Timur. Di sebuah pasar, dia melihat banyak pemasok kelapa dari daerah, hingga dari Bali. Lantas, dia mencoba menawarkan diri untuk memasok kelapa di pasar itu. “Saya tanya ke pedagang kelapa di pasar itu dan mereka  mau menerima pasokan kelapa dari saya,” tutur Suwidi.

Dari situlah, Suwidi merintis usaha sebagai pengepul kelapa. Dari satu pasar, pria kelahiran Jember, 13 Juni 1960, ini mengirim kelapa ke pasar-pasar lain. Bahkan, tak hanya di satu daerah, truknya menjelajahi berbagai kota lain, seperti Surabaya, Tuban, Nganjuk, hingga Solo. “Setiap malam, kami mengirim 4.000 butir kelapa ke tiga kota sekaligus,” ujar dia.  

Manfaatkan limbah Pasokan kelapa yang kian banyak ternyata menimbulkan masalah baru berupa timbunan sabut atau kulit kelapa. Maklum, pengiriman kelapa dilakukan pada kondisi telah dikupas sabutnya terlebih dulu.

Awalnya, sabut itu dibiarkan menumpuk saja di lahannya. Sabut yang sudah kering sering dimanfaatkan sebagai pengganti kayu bakar. Namun, pemakaian sabut sebagai kayu bakar tak sebanding dengan limbah sabut yang terus dihasilkan. “Tumpukan sabut itu memakan banyak tempat,” tutur Suwidi.

Hingga akhirnya, dia bertemu dengan seorang kawan yang menceritakan tentang pengolahan sabut kelapa menjadi serat. Serat kelapa ini dibutuhkan sebagai pengganti spons untuk pembuatan springbed. Kebetulan, sang kawan juga memiliki jaringan pemasaran serat kelapa ini, yakni pabrik Maspion 3 di Sidoarjo.

Adanya kepastian pasar ini meyakinkan Suwidi untuk mengolah sabut kelapa. Dengan modal Rp 150 juta, dia segera menyiapkan bangunan dan membeli mesin-mesin untuk memproses sabut kelapa. “Dulu, belum ada internet seperti sekarang. Saya cari mesin sendiri ke Bandung pakai truk,” kenang Suwidi.

Sekitar tahun 2000, dia memulai produksi cocofiber. Sebagai pemula, Suwidi mengaku banyak melakukan ujicoba produksi. Maklum, selain modal terbatas, pengetahuan dan pengalamannya dalam berbisnis minim. “Saya coba-coba dari ide sendiri, mencari cara untuk bisa menghasilkan produk yang bagus dengan kapasitas produksi yang besar,” urai dia.

Ujicoba dimulai dari proses pengeringan sabut kelapa karena mesin pengurai hanya bisa mengolah sabut kering. Pilihannya, dilakukan secara manual dengan bantuan sinar matahari atau melalui bantuan mesin. “Ternyata, pengeringan dengan mesin butuh biaya tinggi,” kata dia mengenang.

Dari berbagai ujicoba ini, Suwidi mempelajari banyak hal dan mendapat banyak pengalaman. Salah satunya, jangan mudah percaya dengan penjual mesin yang menawarkan berbagai kelebihan. “Mereka bilang bisa produksi berapa ton dalam sehari, nyatanya hanya bisa ratusan kilogram,” tutur Suwidi. Begitu pula soal menentukan biaya produksi supaya tetap mendatangkan untung.

Dua tahun sibuk menjalani trial and error, bantuan menghampirinya. Sebuah kampus swasta di Jember memberinya pelatihan, baik dalam bidang teknologi maupun pemasaran. Suwidi pun bersyukur atas bantuan ini karena usahanya menjadi dikenal oleh masyarakat luar. Dari situ, dia juga mendapat kesempatan mengikuti pelatihan. Bahkan, ikut pelatihan wirausaha rutin tiap tahun yang diadakan oleh perguruan tinggi di Jakarta. “Di pelatihan itu, saya presentasi dan bertukar pengalaman dengan pelaku usaha lain soal masalah yang dihadapi,” jelas Suwidi.

Berkat pertemuannya dengan sesama pengusaha, jaringan Suwidi pun kian terbuka. Pengetahuan akan pengolahan serat kelapa, berikut pengemasan dan pengirimannya, semakin berkembang. Gara-gara krisis moneter 1997-1998, pabrik Maspion 3 di Indonesia terpaksa tutup dan berpindah ke China. Mau tak mau, Suwidi harus mengirimkan cocofiber ke China. “Dari pengiriman dengan truk biasa, kini truk kontainer juga sudah masuk ke pabrik saya,” ungkap Suwidi.

Tak hanya itu, dari teman-teman sesama pengusaha pula, dia bisa mengetahui limbah dari proses pembuatan serat kelapa bisa diolah kembali. Sebab, seiring peningkatan produksi, kembali lagi Suwidi harus menghadapi timbunan limbah berupa serbuk serat kelapa (cocopeat). “Ternyata, serbuk yang dihasilkan juga ada pasarnya,” kata Suwidi senang.   

Kini, setelah hampir 30 tahun menjalankan bisnisnya, Suwidi melepas usahanya sebagai pemasok kelapa. Sejak 2010, dia menyerahkan usaha itu kepada orang-orang yang sudah dibimbingnya sejak lama dalam bisnis pemasok kelapa. “Sudah saatnya saya berbagi dengan mereka karena saya merasa sudah cukup dengan usaha cocofiber dan cocopeat saja,” kata Suwidi. Saat ini, di pabriknya yang memiliki luas 1 hektare, dia bisa memproduksi 4 ton–5 ton cocofiber dan 10 ton cocopeat setiap hari. Saban bulan dia mengirim lebih dari empat container dua produk ini dari pabriknya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi