JAKARTA. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) rupanya tak peduli dengan keberatan Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). Sebelumnya, BP Migas keberatan bila pertukaran (swap) minyak mentah Chevron Pacific Indonesia dengan gas dari Conoco Philips Indonesia berubah menjadi kontrak biasa. Nah, dalam rapat kerja Selasa (9/9) malam lalu, pemerintah dan DPR mengetok palu untuk sepakat mengubah swap itu menjadi transaksi biasa. Perubahan itu akan berlaku mulai awal 2009 nanti. Artinya, untuk mendapatkan gas dari Conoco, mulai tahun depan Chevron harus membeli gas dengan sistem jual beli biasa Selama ini Chevron hanya membarter minyaknya sebesar 50.000 barel per hari dengan gas dari Conoco. "Sudah disepakati, pertukaran seperti itu berakhir dan menjadi transaksi biasa," kata Anggota Komisi VII dari Fraksi Golkar Dito Ganinduto, Rabu (10/9).
Meski Jadi Jual Beli Biasa, Tetap Sisakan Masalah Meski pertukaran (swap) minyak Chevron dan gas Conoco telah berubah menjadi transaksi biasa, namun bukan berarti bebas dari masalah. Selama swap ini berlangsung, ada dugaan negara merugi. Makanya, saat ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sedang mengaudit swap ini, meski hanya untuk tahun buku 2004 hingga 2007. "Auditor kami masih ada di lapangan," kata Bambang Widjayanto, auditor BPK, Selasa (9/9). Yang masih menjadi misteri adalah nilai kerugian negara dari swap ini. Pasalnya selama ini Chevron tetap mengklaim biaya produksi (cost recovery) minyak sebesar 50.000 barel per hari yang mengalir ke Conoco kepada negara. Padahal produksi minyak itu tidak masuk ke dalam lifting nasional, sehingga pemerintah tidak memperoleh masukan. Sejauh ini BP Migas berkeras swap ini tidak merugikan negara. Negara justru menerima keuntungan karena Chevron mampu berproduksi. Jika tidak ada kerjasama ini, minyak di Blok Rokan yang dikelola Chevron tidak bisa mengucur. Dan akibatnya besaran lifting nasional pun mengecil. |