KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Impor beras meningkat signifikan pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Kenaikan signifikan terjadi pada tahun 2023 atau tahun menjelang pemilihan umum (pemilu) yang berlangsung pada 2024. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Pemerintah Indonesia mengimpor beras sebesar 3,06 juta ton sepanjang tahun 2023. Angka ini merupakan rekor dan menjadi impor terbesar sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi. Pada 2023 tersebut, pemerintah mengimpor beras dari Thailand sebesar 1,38 juta ton setara 45,12% dari total impor.
Kemudian Indonesia juga mendatangkan beras dari Vietnam sebesar 1,15 juta ton atau setara 37,47%, disusul Pakistan 309.000 ton atau 10,10%, lalu Myanmar 141.000 atau 4,61% dan negara lainnya sebesar 83.000 ton atau setara 2,70%.
Baca Juga: Berkah Ekonomi Ramadan Terhalang Kenaikan Harga Pangan Laju impor beras tampaknya belum terhenti pada tahun lalu. Pada tahun 2024 ini, pemerintah mengerek target impor beras hingga sebesar 3,6 juta ton. Hal itu terjadi setelah pemerintah memutuskan perlu mengisi stok beras nasional atau Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dikelola Perum Bulog sebesar 1,6 juta ton pada awal tahun ini. Kepala Divisi Perencanaan Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Epi Sulandari mengatakan, realisasi impor beras pada tahun 2024 ini sudah mencapai 659.0000 ton dari total penugasan impor kepada Perum Bulog 3,6 juta ton sepanjang tahun ini. Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menjelaskan bahwa penambahan impor ini dilakukan, selain untuk alasan CBP, juga untuk mengantisipasi stok beras nasional, mengingat saat ini inflasi yang paling tinggi adalah harga beras. Direktur Impor Kementerian Perdagangan (Kemendag) Arif Sulistiyo menambahkan bahwa penambahan impor ini untuk keperluan umum dan telah diputuskan dalam rapat terbatas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sejak awal Februari lalu.
Baca Juga: Satgas Pangan Dinilai Perlu Diperkuat Menjaga Stabilitas Harga Beras Meski begitu, Arif menegaskan penugasan 1,6 juta ton ini masih belum direalisasikan. Saat ini, masih dalam proses perubahan neraca komoditas agar dapat diajukan permohonan persetujuan impor (PI). "Jadi kami untuk 1,6 juta ton belum menerbitkan PI (persetujuan impor)-nya," jelas Arif. Kendati impor terus meningkat, tapi kenaikan harga beras sulit di bendung. BPS mencatat pada Februari 2023, beras menjadi biang terjadinya lonjakan inflasi 5,32% dengan andil 0,21% terhadap inflasi. Di mana angka ini melonjak dibandingkan inflasi beras pada bulan Januari yang 0,64% dengan andil 0,03%. BPS melaporkan hingga Februari 2024 harga beras memecahkan rekor tertinggi dalam sejarah Indonesia. Di mana harga beras di tingkat eceran melesat 19,28% atau berada di level Rp 15.157 per kilogram (kg) dibandingkan tahun sebelumnya.
Baca Juga: Harga Beras Mulai Berangsur Turun di Pasaran Kemudian harga beras di tingkat grosir meningkat 20,08% secara tahunan menjadi Rp 14.398 per kg.
Impor Jelang Panen Raya
Merespons kondisi ini, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, fenomena ini terjadi karena adanya anomali yang tidak biasa dari sisi permintaan beras yang menjadi salah satu komoditas bantuan sosial (bansos) dan alat kampanye pada masa jelang Pemilu 2024 yang lalu. Menurut Bhima, ada perebutan pasokan. Bulog membeli di penggilingan skala besar dengan harga yang lebih murah, sedangkan ritel membeli dari pedagang perantara dengan harga cenderung lebih tinggi. Selain itu, Bhima melanjutkan, ada pula faktor-faktor lain seperti naiknya biaya produksi dan subsidi yang menurun sehingga harga gabah menjadi lebih mahal, lalu berdampak ke harga jual. Di lain sisi, produksi juga menghadapi berbagai tekanan terkait musim, terutama lantaran adanya El Nino.
Baca Juga: Pemerintah Klaim Stok Beras Bakal Aman Menjelang Ramadan Meski begitu, Bhima menilai saat ini momentumnya kurang tepat bagi pemerintah untuk melakukan impor beras, mengingat waktunya menjelang masa panen raya. Hal ini akan berimbas pada harga gabah dan beras di tingkat petani yang akan merosot. Menurutnya, impor memiliki dampak jangka panjang terhadap produksi padi lokal. Kenaikan harga pada petani tidak sebesar kenaikan pada konsumen sehingga petani cenderung beralih ke komoditas yang lain. Dampak jangka panjang dapat dimitigasi dengan mengurangi bansos dalam bentuk beras. "Tidak perlu ada bansos berupa beras, cukup bantuan langsung tunai, sehingga produksi di level penggilingan skala besar tidak terjadi persaingan antara beras program pemerintah dan beras untuk ritel," terang Bhima kepada Kontan, Senin (26/2).
Baca Juga: Pemerintah Pastikan Inflasi Pangan Terkendali Saat Ramadan 2024 Bhima melanjutkan bahwa di sisi hulu perlu diberikan insentif subsidi pupuk yang lebih besar dan tepat sasaran, menilik fakta bahwa subsidi pupuk terus menurun. "Tata niaga dari impor beras ini harus lebih transparan, harus lebih terbuka," tambah Bhima. Menurutnya, perlu koordinasi antar Pemerintah Daerah (Pemda) untuk saling mengisi kebutuhan beras satu sama lain. Melihat kondisi ini, mimpi Indonesia menuju swasembada pangan masih jauh dari kenyataan. Dimana hampir 10 tahun pemerintahan Jokowi, Indonesia tampaknya kita tergantung pada impor bahan pangan, terutama beras. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli