Sukses memang perlu perjuangan panjang. Kisah Syahir Karim Vasandani kembali membuktikan pemeo itu. Pemilik enam toko Bursa Sajadah ini sudah bekerja sejak usia 14 tahun. Kini, omzetnya sebagai pedagang mencapai ratusan juta.Mereka yang baru saja menunaikan ibadah haji pasti tak asing dengan istilah oleh-oleh haji. Tidak afdal rasanya pergi haji tanpa membawa buah tangan ketika kembali ke rumah. Maklum, para tetangga dan handai tolan selalu menanti suvenir asli yang dibeli di Tanah Suci.Jemaah yang mau repot, tentu, menyempatkan diri berburu oleh-oleh di Arab Saudi. Tapi, jemaah lain yang cerdik dan berpikir praktis memilih belanja oleh-oleh haji di Tanah Air. Nah, salah satu toko oleh-oleh haji yang kondang adalah Bursa Sajadah. Cabang toko ini tersebar di Jakarta, Bogor, Surabaya, Bekasi, dan Bandung. Bursa Sajadah menyediakan air zamzam, kurma, kacang madinah, sajadah, mukena, kerudung, tasbih, teko, cangkir Arab, bahkan karpet. Sebagian dagangan itu produksi dalam negeri, tapi tak sedikit pula yang diimpor langsung dari Arab Saudi.Menurut Syahir Karim Vasandani, pendiri Bursa Sajadah, bisnis oleh-oleh haji selalu menguntungkan, terutama pada musim haji. Banyak jemaah memilih membeli oleh-oleh di dalam negeri ketimbang membawa langsung dari Mekah dan Madinah. Apalagi sejumlah maskapai penerbangan semakin membatasi berat bagasi penumpang. Akibatnya, para jemaah tak bisa leluasa belanja dan membawa banyak barang dari Tanah Suci.Selain penjualan oleh-oleh haji, Syahir juga menjual aneka produk tekstil yang diproduksi di pabrik miliknya di Majalaya dan Kopo, Bandung. Dari satu toko, lelaki keturunan India ini mampu meraih omzet hingga Rp 150 juta per bulan. Kini, Syahir memiliki sekitar 250 karyawan dan bekerja sama dengan sekitar 30 Usaha Kecil Menengah (UKM) yang memasok barang ke tokonya. Di setiap toko Syahir menjual lebih dari 6.000 jenis produk tekstil dan oleh-oleh haji.Perjuangan pria kelahiran Surabaya, 18 November 1949, ini untuk sukses seperti sekarang berawal dari kecil. Saat berusia 14 tahun, Syahir yang menjadi anak yatim sejak usia tiga bulan ii tak tega melihat perjuangan sang ibu yang bekerja keras membesarkannya dan empat saudara kandungnya. Ia lantas memutuskan berhenti dari sekolah untuk bekerja. Saat itu ia duduk di kelas lima sekolah rakyat, setara SD zaman dulu.Pekerjaan pertama Syahir adalah menjaga toko tekstil milik keturunan India di Surabaya. Ia mengerjakan apa saja: mulai dari membuang sampah sampai menyemir sepatu. Ia sempat hijrah ke Jakarta selama setahun sebelum akhirnya memutuskan kembali ke Surabaya pada tahun 1964. Ia melamar ke sebuah perusahaan tekstil hingga menempati posisi sebagai manajer penjualan. Syahir bekerja di Surabaya sekitar enam tahun. Ketika itu ia sudah menjajaki berdagang produk tekstil sendiri, meski gagal. Di tahun 1972, ia hijrah ke Bandung dan melamar ke pabrik tekstil di Majalaya yang juga dimiliki keturunan India. Kebanyakan warga keturunan India memang hanya mau merekrut pekerja yang juga berasal berdarah India. Orangtua Syahir sendiri berasal dari Hyderabad Syind, Pakistan.Di pabrik Majalaya, Syahir punya cara unik menimba ilmu. Jika mendapat giliran tugas malam, pada siang hari ia pasti muncul lagi di pabrik sekadar untuk mengamati bagaimana pimpinannya bekerja. “Saya mencari banyak ilmu setiap hari,” katanya. Ia bekerja, menikah, dan menetap di sana sampai tahun 1979. Pada tahun 1980, Syahir sempat tinggal di Nigeria. Ia membantu sang bos menjual kosmetik impor. Tak lama dia mencari nafkah di negeri orang. Empat tahun kemudian balik ke Indonesia, dan memutuskan membuka usaha sendiri.Terpuruk dan bangkit Sepulang dari Afrika merupakan masa-masa kelam dalam hidup Syahir. Kebiasaan minum di Nigeria membuatnya jadi seorang pemabuk. Akibatnya, usaha yang dia geluti tidak pernah berhasil.Pada tahun 1992, Syahir bertekad bertobat. Ia menghentikan kebiasaan minum dan merokok, lantas mendalami agama. Tahun 1993, ia mengajak istrinya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari menjalani ibadah haji, ia mendirikan toko baju muslim di Jalan Palaguna, Bandung, yang ia namai Babussalam. Saat itu, modalnya hanya Rp 10 juta, sisa simpanan dan pinjaman. Usaha ini maju pesat lantaran ditopang bisnis jaket kulit dari Garut. Pada tahun 1994 Syahir mampu mengekspor 1.000 potong jaket kulit ke luar negeri. Setelah permintaan ekspor jaket kulit sepi, Syahir memutar otak untuk mengembangkan tokonya. Ide menjual oleh-oleh haji datang dari permintaan pengunjung toko. Ia mendatangkan barang-barang khas Mekah dan Madinah. Di pabrik miliknya di Majalaya dan Kopo, Syahir memproduksi aneka produk tekstil seperti kemeja, celana, rok, jaket, baju olahraga, topi, rompi, dan kaus. Selain memenuhi pesanan beberapa perusahaan-perusahaan besar, ia juga mengekspor sebagian produknya ke Australia dan Singapura. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Syahrir, eks-pemabuk yang dapat nafkah melimpah dari toko sajadah
Sukses memang perlu perjuangan panjang. Kisah Syahir Karim Vasandani kembali membuktikan pemeo itu. Pemilik enam toko Bursa Sajadah ini sudah bekerja sejak usia 14 tahun. Kini, omzetnya sebagai pedagang mencapai ratusan juta.Mereka yang baru saja menunaikan ibadah haji pasti tak asing dengan istilah oleh-oleh haji. Tidak afdal rasanya pergi haji tanpa membawa buah tangan ketika kembali ke rumah. Maklum, para tetangga dan handai tolan selalu menanti suvenir asli yang dibeli di Tanah Suci.Jemaah yang mau repot, tentu, menyempatkan diri berburu oleh-oleh di Arab Saudi. Tapi, jemaah lain yang cerdik dan berpikir praktis memilih belanja oleh-oleh haji di Tanah Air. Nah, salah satu toko oleh-oleh haji yang kondang adalah Bursa Sajadah. Cabang toko ini tersebar di Jakarta, Bogor, Surabaya, Bekasi, dan Bandung. Bursa Sajadah menyediakan air zamzam, kurma, kacang madinah, sajadah, mukena, kerudung, tasbih, teko, cangkir Arab, bahkan karpet. Sebagian dagangan itu produksi dalam negeri, tapi tak sedikit pula yang diimpor langsung dari Arab Saudi.Menurut Syahir Karim Vasandani, pendiri Bursa Sajadah, bisnis oleh-oleh haji selalu menguntungkan, terutama pada musim haji. Banyak jemaah memilih membeli oleh-oleh di dalam negeri ketimbang membawa langsung dari Mekah dan Madinah. Apalagi sejumlah maskapai penerbangan semakin membatasi berat bagasi penumpang. Akibatnya, para jemaah tak bisa leluasa belanja dan membawa banyak barang dari Tanah Suci.Selain penjualan oleh-oleh haji, Syahir juga menjual aneka produk tekstil yang diproduksi di pabrik miliknya di Majalaya dan Kopo, Bandung. Dari satu toko, lelaki keturunan India ini mampu meraih omzet hingga Rp 150 juta per bulan. Kini, Syahir memiliki sekitar 250 karyawan dan bekerja sama dengan sekitar 30 Usaha Kecil Menengah (UKM) yang memasok barang ke tokonya. Di setiap toko Syahir menjual lebih dari 6.000 jenis produk tekstil dan oleh-oleh haji.Perjuangan pria kelahiran Surabaya, 18 November 1949, ini untuk sukses seperti sekarang berawal dari kecil. Saat berusia 14 tahun, Syahir yang menjadi anak yatim sejak usia tiga bulan ii tak tega melihat perjuangan sang ibu yang bekerja keras membesarkannya dan empat saudara kandungnya. Ia lantas memutuskan berhenti dari sekolah untuk bekerja. Saat itu ia duduk di kelas lima sekolah rakyat, setara SD zaman dulu.Pekerjaan pertama Syahir adalah menjaga toko tekstil milik keturunan India di Surabaya. Ia mengerjakan apa saja: mulai dari membuang sampah sampai menyemir sepatu. Ia sempat hijrah ke Jakarta selama setahun sebelum akhirnya memutuskan kembali ke Surabaya pada tahun 1964. Ia melamar ke sebuah perusahaan tekstil hingga menempati posisi sebagai manajer penjualan. Syahir bekerja di Surabaya sekitar enam tahun. Ketika itu ia sudah menjajaki berdagang produk tekstil sendiri, meski gagal. Di tahun 1972, ia hijrah ke Bandung dan melamar ke pabrik tekstil di Majalaya yang juga dimiliki keturunan India. Kebanyakan warga keturunan India memang hanya mau merekrut pekerja yang juga berasal berdarah India. Orangtua Syahir sendiri berasal dari Hyderabad Syind, Pakistan.Di pabrik Majalaya, Syahir punya cara unik menimba ilmu. Jika mendapat giliran tugas malam, pada siang hari ia pasti muncul lagi di pabrik sekadar untuk mengamati bagaimana pimpinannya bekerja. “Saya mencari banyak ilmu setiap hari,” katanya. Ia bekerja, menikah, dan menetap di sana sampai tahun 1979. Pada tahun 1980, Syahir sempat tinggal di Nigeria. Ia membantu sang bos menjual kosmetik impor. Tak lama dia mencari nafkah di negeri orang. Empat tahun kemudian balik ke Indonesia, dan memutuskan membuka usaha sendiri.Terpuruk dan bangkit Sepulang dari Afrika merupakan masa-masa kelam dalam hidup Syahir. Kebiasaan minum di Nigeria membuatnya jadi seorang pemabuk. Akibatnya, usaha yang dia geluti tidak pernah berhasil.Pada tahun 1992, Syahir bertekad bertobat. Ia menghentikan kebiasaan minum dan merokok, lantas mendalami agama. Tahun 1993, ia mengajak istrinya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari menjalani ibadah haji, ia mendirikan toko baju muslim di Jalan Palaguna, Bandung, yang ia namai Babussalam. Saat itu, modalnya hanya Rp 10 juta, sisa simpanan dan pinjaman. Usaha ini maju pesat lantaran ditopang bisnis jaket kulit dari Garut. Pada tahun 1994 Syahir mampu mengekspor 1.000 potong jaket kulit ke luar negeri. Setelah permintaan ekspor jaket kulit sepi, Syahir memutar otak untuk mengembangkan tokonya. Ide menjual oleh-oleh haji datang dari permintaan pengunjung toko. Ia mendatangkan barang-barang khas Mekah dan Madinah. Di pabrik miliknya di Majalaya dan Kopo, Syahir memproduksi aneka produk tekstil seperti kemeja, celana, rok, jaket, baju olahraga, topi, rompi, dan kaus. Selain memenuhi pesanan beberapa perusahaan-perusahaan besar, ia juga mengekspor sebagian produknya ke Australia dan Singapura. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News