KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk kembali menahan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini. BI meyakini stabilitas kebijakan moneter adalah formula terbaik mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) pada Desember 2017. Dengan putusan ini maka suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (DRRR) dipertahankan sebesar 4,25%. Lalu, suku bunga
Deposit Facility tetap 3,50% dan
Lending Facility 5,00%. Kebijakan ini berlaku efektif sejak 17 November 2017 hingga sebulan ke depan. "Keputusan ini konsisten dengan upaya untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan keuangan dan mendorong laju perekonomian dengan tetap mempertimbangkan dinamika ekonomi global dan domestik," kata Gubernur BI Agus Martowardojo usai RDG, Kamis (16/11).
Agus menjelaskan, tingkat bunga acuan saat ini sudah memadai untuk menjaga inflasi sesuai sasaran dan defisit transaksi berjalan di level yang sehat. Sementara ekonomi domestik diperkirakan tetap tumbuh dengan struktur yang berimbang. Meski demikian, Agus mengakui risiko eksternal berupa perkembangan ekonomi global terkait pengetatan kebijakan moneter negara-negara maju juga menjadi perhatian BI. Perkiraan kenaikan suku bunga acuan di negara maju semakin mengerucut. The Fed dan bank sentral di Eropa serta Kanada diperkirakan menaikkan suku bunga acuan sebelum tutup tahun. Alasannya, ekonomi AS diperkirakan tetap kuat didukung konsumsi yang tetap tinggi dan investasi yang meningkat. Di Eropa, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan lebih tinggi dari perkiraan, ditopang perbaikan ekspor seiring dengan membaiknya perdagangan global dan pulihnya permintaan domestik. Namun, BI yakin suku bunga acuan yang masih 4,25% bisa menahan kenaikan suku bunga acuan negara maju yang diperkirakan hanya akan naik 0,25%. Fokus jaga rupiah Di sisi lain, suku bunga acuan yang tetap ini juga merupakan dukungan BI kepada pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi hingga kuartal III-2017, pertumbuhan ekonomi masih lambat, hanya 5,06% secara
year on year (yoy), naik tipis kuartal sebelumnya 5,01%. Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, saat ini sudah ada tanda-tanda kebangkitan ekonomi di dalam negeri. Oleh karena itu, kebijakan moneter harus dipertahankan. Pada saat yang bersamaan, angka inflasi juga harus dikendalikan. Menurut Perry, tanda-tanda kebangkitan ekonomi adalah konsumsi rumah tangga yang mulai meningkat. Hal itu tercermin dari penjualan sepeda motor kuartal III-2017 yang tumbuh cukup sebesar 18,1%, penjualan mobil tumbuh 7,8% yang juga relatif lebih baik dibanding periode sebelumnya, dan penjualan ritel yang masih tumbuh 5%-6%. "Secara umum, konsumsi rumah tangga kelompok bawah belum naik tinggi, tetapi kelompok menengah atas mengalami peningkatan cukup tinggi," jelas. Eric Sugandi, Chief Economist at SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) mengapresiasi keputusan rapat dewan gubernur (RDG) BI tersebut. Menurutnya, pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan BI selama ini sudah cukup. "Kini BI harus fokus ke tugas utama, pengendalian inflasi dan nilai tukar rupiah," kata Eric.
Apalagi, pada Oktober lalu rupiah melemah 1,63% secara rata-rata harian, menjadi Rp 13.528 per dolar AS. Peluang pelemahan rupiah, menurutnya, bisa kembali berlanjut, seiring tekanan kenaikan Fed Rate dan perkembangan ekonomi di negara maju. Kurs rupiah di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada 16 November 2017 Rp 13.538 per dollar AS. "Mulai saat ini BI harus mengakumulasi cadangan devisa, baik dari sumber neraca pembayaran maupun lainnya dengan menarik valuta asing dari sistem perbankan untuk menambah amunisi menjaga volatilitas rupiah agar tidak terlalu besar," jelas Eric. Sebelumnya, ekonom Bank Permata Josua Pardede juga mengatakan, BI harus fokus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah menjelang tren pengetatan kebijakan moneter di negara maju. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini